Senin, 13 Januari 2014

Filled Under:

Abdullah bin Abbas (Ulama Umat Ini).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ibnu Abbas tidak berbeda dengan Ibnu Zubair dalam usia karena mereka berdua sama-sama mengetahui dan hidup pada masa Rasulullah, pada saat mereka masih kecil. Rasulullah telah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. Tetapi, ia adalah sosok lain yang dalam usia kecilnya telah mendapatkan segala ramuan untuk kepahlawanan dan dasar-dasar kehidupan dari Rasulullah yang memberikan perhatian penuh kepadanya, mendidiknya, serta mengajarinya hikmah yang murni. Dengan keteguhan iman, kekuatan akhlak, seta ilmunya yang luas, Ibnu Abbas telah mencapai kedudukan yang tinggi di lingkungan para tokoh di sekitar Rasulullah.

     Ia adalah putra Abbas bin Abdul Muthalib bin Hisyam, paman Rasulullah. Ibnu Abbas dijuluki sebagai Al-Hibr (Tinta) atau ulama umat ini. Ia mendapatkan julukan itu karena otaknya yang cerdas, mata hatinya yang tajam, dan pengetahuannya yang luas.

     Sejak kecil Ibnu Abbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika suatu hari Rasulullah menariknya ke dekat beliau saat ia masih kecil, lalu sambil menepuk bahunya beliau mendoakan, “Ya Allah, berikanlah dia pengetahuan tentang agama ini dan ajarkanlah kepadanya tentang takwil.

     Kemudian kesempatan datang berturut-turut di mana Rasulullah mengulang doa tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu. Ketika itulah Ibnu Abbas menyadari bahwa dirinya diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan. Persiapan otaknya juga menjadi faktor yang kuat bagi dirinya untuk menempuh jalan ini. Walaupun pada saat Rasulullah wafat usianya belum melebihi tiga belas tahun, ia sejak kecil tidak pernah satu hari pun berlalu tanpa menghadiri majelis Rasulullah dan menghafalkan apa yang beliau ucapkan.

     Setelah kepergian Rasulullah ke Ar-Rafiq Al-A’la, Ibnu Abbas sangat antusias untuk belajar dari para shahabat Rasulullah yang pertama tentang apa saja yang belum ia dengar dan pelajarilah sendiri dari Rasulullah. Ia selalu ingin tahu dan bertanya, sehingga setiap mendengar seseorang yang mengetahui suatu imu atau hafal hadits, ia bergegas menemuinya dan bertanya kepadanya.

     Otaknya yang cemerlang dan selalu fit itu mendorongnya untuk meneliti apa yang didengarnya. Jadi, ia tidak pernah merasa cukup dengan hanya mengumpulkan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga meneliti dan menyelidiki sumbernya. Ia pernah menceritakan pengalamannya, “Aku pernah bertanya kepada 30 orang shahabat Rasulullah mengenai satu masalah.

     Ia memberikan gambaran kepada kita tentang keinginannya yang sangat besar untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan, dengan ungkapannya, “Ketika Rasulullah wafat, aku katakan kepada salah seorang pemuda Anshar, ‘Marilah kita bertanya kepada shahabat Rasulullah karena sekarang ini jumlah mereka masih banyak.’ Pemuda Anshar itu menjawab, ‘Aneh sekali kamu ini, wahai Ibnu Abbas. Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padaha di kalangan mereka sebagai kau lihat banyak terdapat shahabat Rasulullah?

     Ia tidak mau diajak, tetapi aku tetap pergi untuk bertanya kepada para shahabat Rasulullah. Aku juga pernah mendapatkan satu hadits dari seseorang dengan mendatangi rumahnya yang kebetulan waktu itu ia sedang tidur siang. Aku membentangkan kainku di depan pintunya dan duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku. Akhirnya ia bangun dan menemuiku. Ia pun berkata, ‘Wahai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Mengapa engkau tidak menyuruh seseorang saja agar aku datang kepadamu?’ Aku menjawab, ‘Tidak, justru akulah yang harus datang mengunjungimu.’ Kemudian aku menanyakan kepadanya sebuah hadits dan aku belajar darinya.

     Itulah yang dilakukan oleh pamuda jagoan kita yang agung itu. Ia selalu bertanya dan bertanya mencari jawaban dengan teliti, mengkajinya dengan seksama, dan menganalisis dengan pikiran yang brilian. Setiap hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya terus berkembang dan meningkat, hingga dalam usianya yang muda belia ia telah memiliki hikmah, ketenangan, dan kematangan berpikir orang dewasa, sehingga Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab sangat antusias meminta pendapatnya dalam urusan penting. Ia menjulukinya sebagai “Pemuda Paruh Baya”.

     Suatu hari Ibnu Abbas ditanya oleh seseorang, “Bagaimana engkau mendapatkan ilmu ini?” Ia menjawab, “Dengan lidah yang bertanya dan hati yang cerdas.” Dengan lidahnya yang selalu bertanya dan pikirannya yang tidak jemu-jemunya meneliti, kemudian dilengkapi dengan kerendahan hati dan kepandaian bergaul, Ibnu Abbas menjadi ulama umat ini.

     Sa’ad bin Abu Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih cepat memahami, lebih tajam berpikir, lebih banyak dapat menyerap ilmu, dan lebih luas kesantunannya dari Ibnu Abbas. Aku pernah melihat Umar memanggilnya dalam perkara-perkara yang dilematis, padahal di sekeliling Umar terdapat kalangan Muhajirin dan Anshar yang ikut dalam Perang Badar. Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya dan Umar pun tidak akan melampaui apa katanya.

     Ubaidullah bin Utbah juga menceritakan, “Tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang hadits yang diterimanya dari Rasulullah daripada Ibnu Abbas. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar, Utsman daripada dirinya. Tidak ada yang lebih mendalam pemahamannya selain dirinya. Tidak ada yang lebih mengetahui tentang syair, bahasa Arab, tafsir Al-Qur’an. Ilmu hisab, dan ilmu waris selain dirinya. Ia memiliki hari-hari tersendiri untuk duduk membahas persoalan fikih, tafsir, peperangan, syair, dan sejarah, serta kisah-kisah Arab. Aku tidak mengetahui seorang ulama pun yang duduk dalam majelisnya kecuali tunduk kepadanya dan tidak ada orang yang bertanya kepadanya kecuali mendapatkan jawaban darinya.

     Seorang Muslim penduduk Bashrah juga melukiskan tentang dirinya yang pada waktu itu Ibnu Abbas menjadi gubernur di sana di bawah perintah Ali bin Abu Thalib. Ia mengatakan, “Ibnu Abba situ mengambil tiga hal dan meninggalkan tiga hal, yaitu:

  • 1.      Mampu mengambil hati pendengar apabila ia berbicara.


  • 2.      Mendengar dengan baik bila berbicara.


  • 3.      Memilih yang teringan bila ada dua perkara yang diperselisihkan.


  • 4.      Menjauhi segala bentuk pamer.


  • 5.      Menjauhi orang-orang yang suka mencela.


  • 6.      Tidak kenal kompromi dengan perbuatan tercela.”


     Wawasan Ibnu Abbas sangat luas dan pengetahuannya sempurna serta menakjubkan hati. Ia adalah gudang ilmu yang tajam dan cerdas pikirannya dalam setiap ilmu, baik tafsir Al-Qur’an, fikih, sejarah, bahasa Arab, dan sastranya. Karena itulah, ia menjadi sumber referensi bagi para peneliti. Orang-orang berbondong-bondong mendatanginya dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mendengarkan ilmu darinya dan mendalami ilmu pengetahuan.

     Salah seorang shahabat yang hidup semasa dengannya pernah menuturkan, “Aku pernah melihat majelis Ibnu Abbas. Seandainya seluruh orang Quraisy merasa bangga dengannya, tentu ia cukup menjadi kebanggaan mereka. Aku melihat orang-orang berkumpul di depan pintunya hingga tidak ada jalan lagi, sehingga seseorang tidak bisa maju atau keluar dari tempat itu karena penuh dan sesak.

     Aku pun menemuinya dan mengabarkan kepadanya tentang kerumunan mereka di depan pintunya. Ia berkata kepadaku, ‘Sediakanlah air wudhu untukku.’ Maka ia pun berwudhu, lalu duduk dan berkata, ‘Aku akan keluar menemui mereka. Panggillah siapa yang ingin bertanya tentang Al-Qur’an dan takwilnya.’ Aku lalu keluar dan memberikan pengumuman kepada mereka. Mereka masuk hingga memenuhi rumah dan jika mereka bertanya tentang apa pun pasti Ibnu Abbas menjawabnya dengan baik, bahkan memberikan keterangan yang lebih banyak.

     Kemudian Ibnu Abbas berkata kepada mereka, ‘Berikanlah kesempatan kepada saudara-saudara kalian yang lain.’ Maka mereka keluar agar yang lain bisa masuk. Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadaku, ‘Keluarlah dan panggillah siapa yang ingin bertanya tentang ilmu waris.’ Aku keluar dan memberikan pengumuman, sehingga mereka pun masuk dan memenuhi rumah. Dan setiap mereka bertanya tentang apa pun, Ibnu Abbas selalu menjawab dengan baik dan menjelaskan lebih banyak.

     Di samping ingatan yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang istimewa. Dalil dan argumentasi yang ditampakannya bagaikan cahaya matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman. Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikempakannya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena logikanya yang menakjubkan dan keahliannya dalam berbicara.

     Meski sekian luasnya ilmu dan ketepatan argumentasi, Ibnu Abbas tidak melihat sebuah diskusi dan perdebatan itu sebagai wujud adu kecerdasan untuk memamerkan ilmunya, kemudian bangga bila bisa mengalahkan lawannya. Sebaliknya, ia melihat hal itu sebagai jalan yang paling ampuh untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran.

     Dalam hal ini, kaum Khawarij telah lama terpesona dengan logikanya yang tajam dan adil. Suatu hari, ia diutus oleh khalifah Ali kepada sekelompok besar dari kalangan Khawarij. Terjadilah perdebatan yang sangat memesona antara Ibnu Abbas dan merka. Ibnu Abbas melurukan pembicaraan itu dan meyuguhkan argument dengan cara yang menakjubkan hati orang berakal. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cuplikan di bawah ini:

     Ibnu Abbas menanyakan kepada mereka, “Apakah yang menyebabkan kalian meletakkan dendam terhadap Ali?

     Mereka menjawab, “Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami kepadanya:

     Pertama, ia menyerahkan keputusan hukum kepada manusia dalam urusan agama Allah, padahal Allah berfirman: قُلْ إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ ۚ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ ۚ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik".
QS:Al-An'am | Ayat: 57

     Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka halal. Sebaliknya, bila mereka orang-orang beriman, darah mereka tentu diharamkan.

     Ketiga, ketika proses tahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mukminin dari dirinya dan mengabulkan tuntutan lawannya. Jika ia sudah tidak menjadi Amirul Mukminin, berarti ia menjadi pemimpin bagi orang-orang kafir.

     Logika mereka yang berdasarkan mafsu itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, dengan ungkapan, “Mengenai perkataan kalian bahwa ia menyerahkan keputusan hukum kepada manusia dalam urusan agama Allah, apakah ada yang salah? Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka´bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
QS:Al-Maidah | Ayat: 95

     Atas nama Allah, jawablah pertanyaanku, ‘Manakah yang lebih penting, menentukan keputusan hukum kepada manusia dalam menjaga darah kaum Muslimin, ataukah menyerahkan hukum kepada mereka dalam urusan seekor kelinci yang harganya satu dirham?

     Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan kritis itu. Kemudian ulama umat ini melanjutkan bantahannya:

     “Tentang ucapan kalian bahwa ia berperang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan. Apakah kalian menghendaki agar ia mengambil Aisyah, istri Rasulullah dan ibu bagi orang-orang beriman itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan?

     Logika kedua ini membuat wajah orang-orang itu pucat pasi karena merasa malu, mereka lalu menutupi wajah mereka dengan tangan.

     Ibnu Abbas beralih ke persoalan yang ketiga, “Adapun ucapan kalian bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mukminin dari dirinya sampai akhir tahkim, dengarlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh Rasulullah pada hari Hudaibiyah, yakni ketika beliau mendiktekan isi surat perjanjian yang beliau adakan dengan orang-orang Quraisy. Beliau bersabda kepada penulis (Ali), ‘Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah.’ Namun, utusan Quraisy menjawab, ‘Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebgaai Rasulullah, tentu kami tidak akan menghalangimu ke Baitullah dan tidak akan memerangimu. Tulislah: inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah.’ Rasulullah bersabda kepada mereka, ‘Demi Allah, aku ini benar-benar Rasulullah, meskipun kalian mendustakannya.’ Beliau lalu bersabda kepada penulis surat perjanjian itu, ‘Tulislah apa yang mereka kehendaki. Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah’.

     Perdebatan antara Ibnu Abbas dan Khawarij berlangsung dengan cara yang menarik dan menakjubkan, sehingga ketika perdebatan belum berakhir saja, sebanyak 20 ribu orang di antara mereka bangkit serentak dan menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari permusuhan terhadap Ali.

     Ibnu Abbas tidak hanya memiliki kekayaan ilmu pengetahuan yang luas, ia juga memiliki kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu dan akhlak para ulama. Selain itu, ia merupakan imam dan teladan dalam persoalan kedermawanan dan kemurahan hati. Ia membagikan hartanya secara luas kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpahkan ilmunya kepada mereka. Orang-orang yang hidup semasa dengannya pernah menceritakan tentang dirinya, “Kami tidak pernah melihat rumah yang lebih banyak makanan, minuman, buah-buahan, dan ilmunya selain rumah Ibnu Abbas.

     Ibnu Abbad adalah sosok seorang yang berhati bersih dan berjiwa bersih. Ia tidak pernah menaruh dendam atau kebencian kepada siapa pun. Keinginannya yang tidak pernah menjadi kenyang ialah harapannya agar setiap orang, baik yang dikenalnya maupun tidak, mendapatkan kebaikan.

     Ia pernah berkata tentang dirinya, “Sungguh, setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitab Allah, aku berharap semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui. Setiap aku mendengar setiap hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutuskan sesuatu perkara dengan adil, aku merasa gembira dan mendoakan kebaikan untuknya, meskipun aku tidak ada kaitannya dengan persoalan itu. Setiap aku mendengar hujan turun membasahi bumi kaum Muslimin, aku merasa bahagia, meskipun tidak seekor binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut.

     Abdullah bin Abbas ialah ahli ibadah yang tekun beribadah dan taat. Ia selalu bangun untuk menunaikan shalat malam, berpuasa pada siang hari, dan kedua matanya seolah-olah telah hafal aliran air matanya di kedua pipinya karena seringnya ia menangis, baik saat shalat maupun ketika membaca Al-Qur’an. Ketika ia membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat berita yang menyedihkan atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, tangisnya bertambah keras.

     Ibnu Abbas juga seorang pemberani, dipercaya, dan bijaksana. Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah, ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukkan tingginya kecerdasan dan luasnya siasat. Ia lebih mementingkan perdamaian daripada peperangan, lebih memilih memecahkan masalah dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan mendahulukan otak daripada otot.

     Ketika Husain bermaksud pergi ke Iraq untuk memerangi Ibnu Ziyad dan Yazid, Ibnu Abbad menasihati Husain, memegang tangannya, dan berusaha sekuat tenaga untuk menghalanginya. Ketika ia mendengar kematiannya, Ibnu Abbas sangat terpukul dan memilih berdiam di rumah saja untuk meredakan kesedihannya.

     Setiap ada pertentangan antara sesama Muslim tidak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas selain memancungkan bendera perdamaian, mengeluarkan kata-kata yang lunak, dan melenyapkan kesalahpahaman. Memang benar, ia ikut terjun dalam peperangan di pihak Ali melawan Mu’awiyah, tetapi hal itu diakukannya tiada lain hanyalah sebagai tindakan pencegahan yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan agama dan kesatuan umat.

     Ibnu Abbas memenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmah, serta menyebarkan nasihat dan nilai-nilai ketakwaan di antara umat. Saat usianya mencapai 71 tahun, ia terpanggil untuk menemui tuhannya Yang Maha Agung. Kota Thaif menyaksikan orang-orang ramai yang mengantarkan seorang Mukmin menuju surganya. Ketika jasad kasarnya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, sudut-sudut cakrawala berguncang disebabkan gema janji Allah yang benar:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
Hai jiwa yang tenang.
QS:Al-Fajr | Ayat: 27

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
QS:Al-Fajr | Ayat: 28

فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
Maka masuklah ke dalam jama´ah hamba-hamba-Ku,
QS:Al-Fajr | Ayat: 29

وَادْخُلِي جَنَّتِي

masuklah ke dalam surga-Ku.
QS:Al-Fajr | Ayat: 30




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf