بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Ia lebih dulu masuk Islam daripada
ayahnya. Sejak ia berbaiat dan menaruh telapak tangan kanannya di telapak kanan
Rasulullah, sementara hatinya yang terang bagaikan cahaya subuh yang cemerlang
diterangi oleh cahaya Ilahi dan cahaya ketaatannya, pertama-tama Abdullah
memusatkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an yang diturunkan secara
berangsur-angsur. Setiap turun ayat, ia menghafalnya dan berupaya memahaminya,
hingga setelah semuanya selesai dan sempurna, ia pun telah hafal secara
keseluruhan.
Ia menghafal Al-Qur’an bukan sekedar
mengingat hingga ingatannya seolah-olah menjadi museum bagi sebuah buku tebal,
melainkan menghafal dengan tujuan memupuk jiwanya, dan agar ia menjadi hamba Allah
yang taat, menghalalkan apa yang dihalalkan oleh-Nya dan mengharamkan apa yang
diharamkan oleh-Nya, dan memenuhi setiap seruannya. Kemudian, ia selalu
membaca, melagukan, dan merenungkan isinya, menjelajahi taman-tamannya yang
indah, berbahagia saat melewati ayat-ayat yang mulia itu menceritakan
kesenangan, dan menangis bila ayat-ayat yang dibaca membangkitkan hal-hal yang
menakutkan.
Abdullah telah ditakdirkan Allah menjadi
seorang suci dan rajin beribadah. Tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang
mampu mengalih dari takdirnya itu dan petunjuk yang dianugerahkan kepadanya.
Apabila tentara Islam menuju ke medan perang untuk menghadapi orang-orang
musyrik yang melancarkan peperangan dan permusuhan, kita akan menjumpainya
berada di barisan terdepan, merindukan kesyahidan dengan semangat cinta dan
rintihan rindu.
Jika peperangan telah usai, di mana kita
akan menemuinya? Di mana lagi, kalau bukan di masjid besar atau di musala
rumahnya. Ia berpuasa pada waktu siang hari dan berdiri salat pada waktu malam.
Lidahnya tidak mengenal percakapan tentang dunia walaupun terkait dengan
permasalah yang mubah. Itu karena lidahnya selalu basah dengan berzikir kepada
Allah, membaca Al-Qur’an, bertasbih dengan memuji-Nya, atau beristighfar atas
dosanya.
Untuk mengetahui dimensi ibadah dan ketaatan
Abdullah, cukuplah kita perhatikan Rasulullah yang tugasnya memang menyeru
kepada manusia untuk beribadah kepada Allah, harus turut campur tangan agar
Abdullah tidak sampai berlebih-lebihan dalam beribadah.
Demikianlah, bila pelajaran dari kehidupan
Abdullah bin Amr dibagi menjadi dua, maka satu sisi menyingkap kemampuan luar
biasa yang tersimpan dalamjiwa manusia untuk mencapai tingkat tertinggi dalam
beribadah dan meninggalkan kesenangan duniawi, sedangkan sisi kedua ialah
anjuran agama ini agar orang bersikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan
dalam mencapai segala ketinggian dan kesempurnaan itu, hingga jiwa seseorang
itu tetap mempunyai gairah dan semangat hidup, dan agar jasmaninya tetap dalam
keadaan yang sehat dan selamat.
Rasulullah tahu bahwa Abdullah bin Amr bin
Al-Ash menghabiskan kehidupannya pada satu jalur saja. Jika tidak pergi
berjihad, hari-harinya dari mulai fajar sampai fajar berikutnya terpusat pada
ibadah yang sambung-menyambung; puasa, shalat, dan membaca Al-Qur’an.
Rasulullah memanggil Abdullah dan
menyerukan kepadanya agar sedang-sedang saja dalam beribadah. Baliau bersabda
kepadanya, “Benarkah engkau selalu berpuasa pada
siang hari dan tidak pernah tidak puasa, dan shalat pada malam hari serta tidak
pernah tidur? Cukup bagimu puasa tiga hari dalam setiap bulan.” Abdullah menjawab, “Aku
sanggup lebih banyak dari itu.”
Nabi bersabda, “Kalau begitu, cukuplah bagimu dua hari
dalam sepekan.” Abdullah
menjawab, “Aku sanggup lebih banyak lagi.” Rasulullah bersabda, “Bila
demikian, lakukanlah puasa yang lebih utama, yaitu puasa Nabi Daud, puasa
sehari dan berbuka sehari.”
Rasulullah kembali bersabda kepadanya, “Aku
tahu bahwa engkau membaca Al-Qur’an seluruhnya dalam satu malam. Aku khawatir
bila usiamu lanjut dan engkau bosan membacanya. Khatamkanlah setiap sebulan
sekali, atau sekali dalam sepuluh hari, atau sekali dalam tiga hari.”
Kemudian beliau bersabda kepadanya, “Aku
berpuasa dan berbuka bangu, shalat malam dan tidur, serta menikahi perempuan.
Jadi, siapa yang tidak suka sunahku, ia bukanlah umatku.”
Ternyata benar bahwa Abdullah bin Amr bin
Al-Ash dikaruniai usia lanjut. Ketika ia sudah tua dan tulangnya menjadi lemah,
ia selalu teringat nasihat Rasulullah dulu itu, sehingga ia berkata, “Seandainya
aku dulu menerima keringanan dari Rasulullah.”
Seorang Muslim yang seperti Abdullah ini
akan sulit dijumpai dalam pertempuran yang berkecamuk di antara dua kelompok
Muslim. Bila demikian, apakah yang membawa kakinya dari Madinah ke Shiffin dan
bergabung dengan barisan Mu’awiyah dalam pertempuran menghadapi Ali? Yang pasti
bahwa sikap Abdullah ini patut direnungkan, dan setelah memahaminya, sikap itu
layak mendapatkan penghargaan dan penghormatan.
Kita tahu bahwa Abdullah bin Amr
memusatkan perhatiannya terhadap ibadah, hingga dapat membahayakan nyawanya.
Hal ini sangat mencemaskan hati ayahnya, hingga ia sering melaporkan anaknya
itu kepada Rasulullah.
Pada kali terakhir Rasulullah
menasihatinya agar sedang-sedang saja dalam beribadah itu dan menentukan
waktu-waktunya, ayahnya pada waktu itu juga hadir. Rasulullah meraih tangan
Abdullah dan meletakkannya di tangan ayahnya, lalu bersabda, “Lakukanlah
apa yang aku perintahkan dan taatilah ayahmu.”
Hari terus berputar dan tahun berganti
tahun. Mu’awiyah di Syria menolak baiat terhadap Ali. Sebaliknya, Ali menolak
untuk tunduk terhadap pembangkangan yang tidak sah itu. Peperangan antara dua
golongan kaum Muslimin tidak bisa terhindarkan. Perang Jamal telah berlalu dan
sekarang berganti dengan Perang Shiffin.
Amr bin Al-Ash telah menentukan sikapnya
dan berpihak kepada Mu’awiyah. Ia menyadari sepenuhnya bagaimana penghormatan
kaum Muslimin terhadap putranya, Abdullah, di samping kepercayaan mereka terhadap
agamanya. Ia ingin mengajak putranya itu bergabung ke pihak Mu’awiyah, sehingga
dengan posisinya itu banyak kaum Muslimin yang mengikutinya.
Selain itu, Amr bin Al-Ash sangat optimis
dengan kehadiran Abdullah di dekatnya akan membawa nasib mujur baginya dalam
peperangan. Ia belum lupa bagaimana jasa putranya itu pada saat penyerbuan ke
Syria dan waktu Pertempuran Yarmuk. Karena itulah, ketika hendak berangkat ke
Shiffin, ia memanggil putranya dan berkata, “Wahai
Abdullah, bersiap-siaplah untuk berangkat. Engkau akan berperang di pihak kami.”
Abdullah menjawab, “Bagaimana
mungkin aku melakukannya, sedangkan Rasulullah telah mengamanatkan kepadaku
agar tidak mengangkat senjata di atas leher orang Islam untuk selama-lamanya?”
Amr dengan kecerdasannya mencoba
meyakinkan Abdullah, bahwa maksud kepergian mereka ini hanyalah membekuk
pembunuh-pembunuh Utsman dan menuntut balas atas darah sucinya. Kemudian secara
tiba-tiba ayahnya mengatakan kepadanya, “Apakah
engkau masih ingat, wahai Abdullah, amanah terakhir yang disampaikan oleh
Rasulullah kepadamu ketika beliau meraih tanganmu lalu meletakkannya ke atas
tanganku seraya bersabda, ‘Taatilah ayahmu’?
sekarang aku menghendaki agar engkau bersama kami dan ikut berperang.”
Akhirnya, Abdullah berangkat sebagai wujud
ketaatan kepada ayahnya. Dalam hatinya ia tetap bertekad tidak akan mengangkat
pedang terhadap seorang Muslim. Tetapi, bagaimana ia melakukannya? Yang penting
baginya kini ialah turut bersama ayahnya, sedangkan bila perang berlangsung nanti,
terserah Allah saja bagaimana
takdir-Nya.
Perang pun berkecamuk dengan dahsyat. Para
ahli sejarah berbeda pendapat, apakah Abdullah ikut serta di permulaan perang
itu ataukah tidak. Kita katakan di permulaan, karena tidak lama setelah itu,
terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan Abdullah bin Amr mengambil sikap
secara terang-terangan menentang peperangan menentang Mu’awiyah.
Hal itu terjadi karena Ammar bin Yasir
berperang di pihak Ali. Ammar adalah shahabat yang sangat dihormati oleh para
shahabat. Lebih daripada itu, jauh sebelumnya Rasulullah telah mengabarkan
kematiannya dan siapa yang akan membunuhnya.
Kisahnya, ketika itu Rasulullah bersama
para shahabat sedang membangun masjid di madinah, tidak lama setelah beliau
hijrah ke sana. Batu yang digunakan sebagai bahannya ialah batu-batu besar dan
berat, sehingga setiap orang hanya dapat mengangkat satu batu saja. Tetapi,
Ammar, karena dorongan perasaan senangnya dan semangatnya, dapat mengangkat dua
batu sekaligus. Hal itu tampak oleh Rasulullah, beliau memandangi anak muda itu
dengan linangan air mata, lalu bersabda, “Kasihan
putra Sumayyah itu, ia akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.”
Semua shahabat yang ikut bekerja pada
waktu itu mendengar pengabaran Rasulullah tersebut dan teringat. Abdullah bin
Amr juga mendengarnya. Saat awal peperangan antara pihak Ali dan Mu’awiyah itu,
Ammar naik ke tempat yang tinggi dan berteriak dengan sekuat tenaga untuk
membangkitkan semangat, “Hari ini kita akan menjumpai para
kekasih; Muhammad beserta para shahabatnya.”
Sekelompok orang dari pasukan Mu’awiyah
saling member saran agar membunuhnya. Mereka sepekat untuk mengarahkan anak
panah mereka kepadanya dan melepaaskannya secara serempak tepat mengenai sasaran.
Serangan itu langsung mengantarkan Ammar ke alam syuhada dan para pahlawan.
Berita gugurnya Ammar ini menyebar bagai
angin kencang. Saat mendengar kabar itu Abdullah sontak bangkit. Hatinya
meledak dan berontak, ia berkata, “Benarkah Ammar tebunuh? Dan kalian
pembunuhnya? Kalau begitu, kalianlah pihak yang aniaya. Kalian berperang di
jalan yang sesat dan salah.”
Abdullah berkeliling di barisan Mu’awiyah
sebagai pemberi peringatan, melemahkan semangat mereka dan menyatakan bahwa
mereka adalah pihak yang melampaui batas karena merekalah yang telah membunuh
Ammar. Dua puluh tujuh tahun yang lalu, di hadapan sejumlah shahabat,
Rasulullah telah mengabarkan bahwa ia akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui
batas.
Ucapan Abdullah itu disampaikan orang
kepada Mu’awuiyah yang segera memanggil Amr dan putranya itu. Mu’awiyah berkata
kepada Amr, “Mengapa engkau tidak mencegah anakmu
yang gila itu?”
Abdullah sendiri menjawab, “Aku
tidak gila. Hanya saja aku mendengar Rasulullah telah bersabda kepada Ammar
bahwa Ammar akan dibunuh oleh sekelompok orang yang melampaui batas.”
“Kalau
begitu, mengapa engkau ikut bersama kami?”
“Karena
Rasulullah memerintahkan kepadaku agar taat kepada ayahku. Aku telah menaati
perintahnya supaya ikut pergi, tetapi aku tidak ikut berperang membelamu.”
Ketika mereka sedang adu mulut itu,
tiba-tiba seseorang masuk dan memintakan izin bagi orang yang telah membunuh
Ammar untuk menghadap. Abdullah bin Amr langsung menyahut, “Suruhlah
ia masuk dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa ia di neraka.”
Bagaimana pun ketenangan dan kesabaran
Mu’awiyah, ia tetap tidak bisa mengendalikan kemarahannya lagi, lalu berteriak
kepada Amr, “Cegahlah, apakah engkau tidak
mendengar kata-katanya itu?” Tetapi,
dengan ketenangan seorang yang bertakwa, Abdullah kembali menegaskan kepada
Mu’awiyah bahwa apa yang dikatakannya itu adalah benar dan pihak yang membunuh
Ammar tidak lain merupakan orang-orang yang durhaka.
Kemudian sambil mengalihkan mukanya kepada
ayahnya, Abdullah berkata, “Kalau bukan karena Rasulullah
menyuruhku agar menaatimu, aku tidak akan pergi bersama kalian dalam perjalanan
ini.”
Mu’awiyah dan Amr keluar untuk memeriksa
pasukan. Alangkah terkejutnya mereka berdua ketika mengetahui bahwa semua orang
sedang membicarakan pengabaran Rasulullah terhadap Ammar, “Engkau
akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.”
Amr dan Mu’awiyah merasa bahwa kasak-kusuk
itu dapat meningkat menjadi tantangan dan pembangkangan terhadap Mu’awiyah.
Karenanya, mereka memikirkan suatu taktik. Akhirnya mereka berdua menemukannya
dan menyampaikan kepada barisan pasukan, “Memang
benar, suatu hari Rasulullah pernah bersabda kepada Ammar, bahwa dirinya akan
dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas. Pengabaran Rasulullah itu benar.
Dan sekarang Ammar telah dibunuh. Namun, siapakah yang membunuhnya? Pembunuhnya
tidak lain ialah orang-orang yang telah mengajaknya pergi ikut berperang.”
Dalam suasana kacau seperti itu, berbagai
logika bisa saja dimunculkan. Faktanya, logika Mu’awiyah dan Amr bisa diterima
dan mendapatkan dukungan. Kedua pasukan pun memulai bertempur lagi, sementara
Abdullah bin Amr kembali ke masjid dan beribadah.
Abdullah bin Amr menjalani kehidupannya
dan tidak mengisinya selain dengan mengabdikan diri dan beribadah. Tetapi,
keikutsertaannya dalam Perang Shiffin, meski hanya ikut pergi saja, senantiasa
menjadi sumber kegelisahannya. Ingatan itu tidak bisa hilang dari pikirannya.
Ia sering menangis dan berkata, “Apa perlunya bagiku Perang Shiffin?
Apa gunanya bagiku memerangi kaum Muslimin?”
Suatu hari, ketika ia sedang duduk-duduk
dengan beberapa shahabat di masjid Rasul, Al-Husain bin Ali lewat dan mereka
pun saling mengucapkan salam. Ketika Al-Husain telah berlalu, Abdullah berkata
kepada orang-orang di dekatnya, “Maukah kalian kutunjukkan penduduk
bumi yang paling dicintai oleh penduduk langit? Dialah orang yang baru saja
lewat di hadapan kita tadi. Al-Husain bin Ali. Sejak Perang Shiffin ia tidak
pernah berbicara kepadaku. Sungguh, bila ia ridha terhadapku, itu lebih aku
sukai daripada unta merah (harta terbaik).”
Abdullah mengadakan kesepakatan dengan Abu
Sa’ad Al-Khudri untuk berkunjung ke tempat Al-Husain. Akhirnya di rumah
Al-Husain terjadilah pertemuan orang-orang mulia itu. Abdullah bin Amr membuka
percakapan lebih dahulu, lalu mengarahkan perbincangannya ke persoalan Shiffin.
Al-Husain langsung menanggapinya dengan
bertanya, “Apa yang menyebabkanmu ikut berperang di pihak
Mu’awiyah?”
Abdullah menjawab, “Suatu
hari ayahku, Amr bin Al-Ash menghadap kepada Rasulullah dan mengadukan diriku
serta mengatakan, ‘Abdullah selalu berpuasa setiap hari
dan beribadah setiap malam.’ Rasulullah pun berwasiat kepadaku, ‘Wahai Abdullah, shalatlah tetapi jangan lupa tidur,
berpuasalah tetapi jangan lupa berbuka, dan taatilah ayahmu!’ ketika
Perang Shiffin, ayahku memaksaku agar ikut pergi bersamanya. Aku menuruti
kemauannya, tetapi—demi Allah—aku tidak pernah menghunus pedang, melemparkan
tombak, atau melepaskan anak panah dalam peperangan itu.”
Ketika usianya yang telah diberkahi itu
telah mencapai 72 tahun, saat ia sedang berada di tempat shalatnya untuk
mendekatkan diri dan bermunajat kepada Allah Sang pencipta alam semesta,
bertasbih, dan bertahmid, tiba-tiba ia dipanggil untuk perjalanan abadi. Ia pun
memenuhi panggilan itu karena sudah sangat merindukannya untuk bertemu dengan
teman-temannya yang telah mendahuluinya mendapatkan kebaikan. Rohnya terbang
dan mencari tempat tinggalnya. Sementara itu, suara pemberi kabar gembira dari
Ar-Rafiq Al-A’la memanggil:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ
الْمُطْمَئِنَّةُ
Hai jiwa yang tenang.
QS:Al-Fajr | Ayat: 27
QS:Al-Fajr | Ayat: 27
ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً
مَرْضِيَّةً
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yang puas lagi diridhai-Nya.
QS:Al-Fajr | Ayat: 28
QS:Al-Fajr | Ayat: 28
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
Maka masuklah ke dalam jama´ah
hamba-hamba-Ku,
QS:Al-Fajr | Ayat: 29
QS:Al-Fajr | Ayat: 29
وَادْخُلِي جَنَّتِي
masuklah ke dalam surga-Ku.
QS:Al-Fajr | Ayat: 30
QS:Al-Fajr | Ayat: 30
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar