بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Di Perang Uhud ia mengepalai pasukan
pemanah yang dipersiapkan Quraish untuk menghadapi kaum Muslimin. Sebelum kedua
pasukan itu bertempur, seperti biasa dimulai dengan perang tanding. Abdurrahman
maju ke depan dan meminta lawan dari pihak kaum Muslimin. Abu Bakar maju ke
gelanggang untuk melayani tantangan anaknya itu. Namun, Rasulullah menahan
shahabatnya itu dan melarang melakukan perang tanding dengan putranya sendiri.
Seorang Arab tulen tidak memiliki cirri
yang lebih istimewa daripada loyalitasnya yang total terhadap sesuatu yang
sudah menjadi keyakinan. Bila hatinya telah mantap dengan agama tertentu atau
sebuah pendapat, ia tidak berbeda dengan tawanan yang diperbudak oleh
keyakinannya itu, hingga tidak dapat melepaskan diri lagi, kecuali bila ada
keyakinan baru yang lebih kuat, yang bisa menundukkan akal dan jiwanya tanpa
keraguan sedikitpun yang akan menggeser keyakinannya yang pertama tadi.
Karena itulah, bagaimanapun besarnya rasa
hormat Abdurrahman kepada ayahnya, serta kepercayaannya yang penuh terhadap
kematangan akal, kebesaran kiwa, dan akhlaknya, keteguhan hatinya terhadap
keyakinannya tetap berkuasa, sehingga ia tidak sedikit pun terpengaruh oleh
keislaman ayahnya. Ia justru berdiri teguh dan tidak beranjak dari tempatnya,
memikul tanggung jawab keyakinannya itu, membela berhala-berhala Quraish dan
bertahan mati-matian di bawah bendera dan panji-panjinya, dan melawan kaum
Muslimin meski nyawa menjadi taruhannya.
Orang-orang semacam ini tidak buta
terhadap kebenaran, walaupun perlu waktu yang lama untuk menerimanya. Kekerasan
prinsip dan kekuatan keterusterangan yang ada pada diri mereka pada akhirnya
akan membimbing mereka kepada kebenaran dan mempertemukan mereka dengan
petunjuk dan kebaikan.
Suatu hari, saat yang telah ditetapkan
oleh takdir telah tiba, yang menandai kelahiran baru bagi Abdurrahman bin Abu
Bakar. Pelita petunjuk telah menyuluhi dirinya, hingga mengikis habis baying-bayang
kegelapan dan kepalsuan warisan jahiliyah. Ia melihat Allah Yang Maha Esa di
segala sesuatu yang terdapat di sekelilingnya dan petunjuk Allah pun mengakar
pada diri dan jiwanya, hingga ia pun menjadi seorang Muslim. Ia pun bergegas
bangkit untuk melakukan perjalanan jauh untuk menemui Rasulullah dan bernaung
ke dalam agama yang benar. Wajah Abu Bakar bercahaya karena gembira ketika
melihat putranya itu berbaiat kepada Rasulullah.
Pada waktu masih kafir dulu, ia adalah
seorang ksatria. Saat memeluk Islam pun ia masuk Islam sebagai ksatria. Tidak
ada keinginan tersembunyi maupun ketakutan yang mendorongnya untuk menganut
Islam. Ia melakukan ini murni karena penerimaan akal sehat yang telah diterangi
oleh hidayah Allah dan taufik-Nya. Mulai saat itu pun Abdurrahman berusaha
sekuat tenaga untuk menyusul ketinggalan-ketinggalannya selama ini dengan
mengerahkan segala upaya di jalan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman.
Pada masa Rasulullah maupun pada masa khalifah sepeninggal beliau, Abdurrahman
tidak pernah ketinggalan untuk ambil bagian dalam peperangan dan tidak pernah
berpangku tangan dari jihad yang dilaksanakan.
Dalam Perang Yamamah, jasanya amat besar.
Keteguhan dan keberaniannya berperan besar dalam merebu kemenangan dari tentara
Musailamah dan orang-orang murtad. Bahkan, dialah yang menghabisi riwayat
Mahkan bin Thufail, yang menjadi dalang yang mengendalikan Musailamah. Dengan
segala upaya dan kekuatannya, Abdurrahman berhasil mengepung benteng terpenting
yang digunakan oleh tentara murtad sebagai tempat yang strategis untuk
pertahanan mereka.
Ketika Mahkan bin Thufail tewas oleh
pukulan Abdurrahmandan orang-orang disekelilingnya lari tunggang-langgang,
benteng itu pun terbuka luas sehingga prajurit Islam masuk berlompatan ke dalam
benteng.
Di bawah naungan Islam, kualitas
Abdurrahman bin Abu Bakar bertambah tajam dan sempurna. Loyalitas terhadap
keyakinan dan kegigihan total untuk menghadapi apa yang benar, serta
kebenciannya terhadap mulut manis dan sanjungan, semua sifat ini selalu menjadi
prinsip hidup dan permata kepribadiannya. Tiada sedikit pun ia terpengaruh oleh
sesuatu pancingan atau tekanan, bahkan pada saat yang amat gawat, yakni ketika
Mu’awiyah memutuskan hendak memaksakan baiat bagi Yazid sebagai khalifah dengan
kekuatan pedang.
Mu’awiyah mengirim surat yang berisi
pernyataan baiat kepada Marwan, gubernurnya di Madinah, dan menyuruhnya agar
dibacakan kepada kaum Muslimin di masjid. Marwan melaksanakan perintah itu,
namun saat ia belum selesai membaca, Abdurrahman bin Abu Bakar bangkit untuk
mengubah suasana hening yang mencekam itu menjadi banjir protes dan perlawanan
keras. Ia menyatakan, “Demi Allah, rupanya bukan yang terbaik
yang engkau berikan kepada umat Nabi Muhammad, melainkan engkau hendak menjadikannya
kerajaan seperti Romawi, hingga bila seorang kaisar meninggal, tampillah kaisar
lain sebagai penggantinya.”
Abdurrahman melihat bahaya besar yang
sedang mengancam Islam bila Mu’awiyah benar-benar melaksanakan keinginannya
itu. Ia akan mengubah hukum Islam dan prinsip syura (di mana rakyat dapat
memilih kepala negaranya), menjadi system monarki (di mana rakyat diperintah
oleh raja-raja atau kaisar-kaisar yang akan mewarisi takhta secara
turun-temurun).
Saat itu juga, setelah Abdurrahman mengakhiri
kecaman keras ini di hadapan Marwan, ia telah didukung oleh sejumlah Muslimin
yang dipimpin oleh Al-Husain bin Ali,
Abdullah bin Az-Zubair, dan Abdullah bin Umar. Namun, setelah itu timbul
suasana panas yang memaksa Ibnu Ali, Ibnu Zubair, dan Ibnu Umar tinggal diam
terhadap rencana baiat yang hendak dilaksanakan Mu’awiyah dengan kekuatan
senjata itu. Tetapi, Abdurrahman tetap menyatakan batalnya baiat ini secara
terus terang.
Mu’awiyah mengirim utusan untuk
menyerahkan uang kepada Abdurrahman sebanyak 100 ribu dirham untuk menundukkan
hatinya. Tetapi, putra Ash-Shiddiq itu melempar uang itu jauh-jauh, lalu
berkata kepada utusan Mu’awiyah, “Kembalilah kepadanya dan katakan bahwa
Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak akan pernah menjual agamanya dengan
dunia.”
Ketika Abdurrahman mengetahui bahwa
Mu’awiyah sedang bersiap-siap hendak melakukan kunjungan ke Madinah,
Abdurrahman segera meninggalkan kota itu menuju Mekkah. Allah berkehendak
menghindarkan dirinya dari bencana dan akibat pendiriannya ini. Karena, ketika
ia baru sampai di dataran tinggi Mekkah dan tinggal sebentar di sana, rohnya
berangkat menemui Allah. Orang-orang mengusung jenasahnya dibahu mereka dan
membawanya ke dataran tinggi Mekkah lalu memakamkannya di sana, di bawah tanah
yang telah menyaksikan masa jahiliyah sekaligus masa Islamnya. Keislaman
seorang lelaki yang jujur, berjiwa bebas, dan ksatria.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar