Rabu, 01 Januari 2014

Filled Under:

Abdurrahman bin Abu Bakar (Pahlawan hingga Akhir).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ia merupakan lukisan nyata tentang kepribadian Arab dengan segala kedalaman dan dimensinya. Saat ayahnya menjadi orang yang pertama beriman kepada Rasulullah dan Ash-Shiddiq yang memiliki keimanan yang tiada taranya terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta orang kedua ketika mereka berdua berada di dalam gua, Abdurrahman pada waktu itu justru menjadi orang yang kuat laksana batu karang menyatu menjadi satu dengan agama nenek moyangnya dan berhala-berhala Quraish. Di Perang Badar ia tampil sebagai barisan penyerang di pihak tentara musyrik.

     Di Perang Uhud ia mengepalai pasukan pemanah yang dipersiapkan Quraish untuk menghadapi kaum Muslimin. Sebelum kedua pasukan itu bertempur, seperti biasa dimulai dengan perang tanding. Abdurrahman maju ke depan dan meminta lawan dari pihak kaum Muslimin. Abu Bakar maju ke gelanggang untuk melayani tantangan anaknya itu. Namun, Rasulullah menahan shahabatnya itu dan melarang melakukan perang tanding dengan putranya sendiri.

     Seorang Arab tulen tidak memiliki cirri yang lebih istimewa daripada loyalitasnya yang total terhadap sesuatu yang sudah menjadi keyakinan. Bila hatinya telah mantap dengan agama tertentu atau sebuah pendapat, ia tidak berbeda dengan tawanan yang diperbudak oleh keyakinannya itu, hingga tidak dapat melepaskan diri lagi, kecuali bila ada keyakinan baru yang lebih kuat, yang bisa menundukkan akal dan jiwanya tanpa keraguan sedikitpun yang akan menggeser keyakinannya yang pertama tadi.

     Karena itulah, bagaimanapun besarnya rasa hormat Abdurrahman kepada ayahnya, serta kepercayaannya yang penuh terhadap kematangan akal, kebesaran kiwa, dan akhlaknya, keteguhan hatinya terhadap keyakinannya tetap berkuasa, sehingga ia tidak sedikit pun terpengaruh oleh keislaman ayahnya. Ia justru berdiri teguh dan tidak beranjak dari tempatnya, memikul tanggung jawab keyakinannya itu, membela berhala-berhala Quraish dan bertahan mati-matian di bawah bendera dan panji-panjinya, dan melawan kaum Muslimin meski nyawa menjadi taruhannya.

     Orang-orang semacam ini tidak buta terhadap kebenaran, walaupun perlu waktu yang lama untuk menerimanya. Kekerasan prinsip dan kekuatan keterusterangan yang ada pada diri mereka pada akhirnya akan membimbing mereka kepada kebenaran dan mempertemukan mereka dengan petunjuk dan kebaikan.

     Suatu hari, saat yang telah ditetapkan oleh takdir telah tiba, yang menandai kelahiran baru bagi Abdurrahman bin Abu Bakar. Pelita petunjuk telah menyuluhi dirinya, hingga mengikis habis baying-bayang kegelapan dan kepalsuan warisan jahiliyah. Ia melihat Allah Yang Maha Esa di segala sesuatu yang terdapat di sekelilingnya dan petunjuk Allah pun mengakar pada diri dan jiwanya, hingga ia pun menjadi seorang Muslim. Ia pun bergegas bangkit untuk melakukan perjalanan jauh untuk menemui Rasulullah dan bernaung ke dalam agama yang benar. Wajah Abu Bakar bercahaya karena gembira ketika melihat putranya itu berbaiat kepada Rasulullah.

     Pada waktu masih kafir dulu, ia adalah seorang ksatria. Saat memeluk Islam pun ia masuk Islam sebagai ksatria. Tidak ada keinginan tersembunyi maupun ketakutan yang mendorongnya untuk menganut Islam. Ia melakukan ini murni karena penerimaan akal sehat yang telah diterangi oleh hidayah Allah dan taufik-Nya. Mulai saat itu pun Abdurrahman berusaha sekuat tenaga untuk menyusul ketinggalan-ketinggalannya selama ini dengan mengerahkan segala upaya di jalan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Pada masa Rasulullah maupun pada masa khalifah sepeninggal beliau, Abdurrahman tidak pernah ketinggalan untuk ambil bagian dalam peperangan dan tidak pernah berpangku tangan dari jihad yang dilaksanakan.

     Dalam Perang Yamamah, jasanya amat besar. Keteguhan dan keberaniannya berperan besar dalam merebu kemenangan dari tentara Musailamah dan orang-orang murtad. Bahkan, dialah yang menghabisi riwayat Mahkan bin Thufail, yang menjadi dalang yang mengendalikan Musailamah. Dengan segala upaya dan kekuatannya, Abdurrahman berhasil mengepung benteng terpenting yang digunakan oleh tentara murtad sebagai tempat yang strategis untuk pertahanan mereka.

     Ketika Mahkan bin Thufail tewas oleh pukulan Abdurrahmandan orang-orang disekelilingnya lari tunggang-langgang, benteng itu pun terbuka luas sehingga prajurit Islam masuk berlompatan ke dalam benteng.

     Di bawah naungan Islam, kualitas Abdurrahman bin Abu Bakar bertambah tajam dan sempurna. Loyalitas terhadap keyakinan dan kegigihan total untuk menghadapi apa yang benar, serta kebenciannya terhadap mulut manis dan sanjungan, semua sifat ini selalu menjadi prinsip hidup dan permata kepribadiannya. Tiada sedikit pun ia terpengaruh oleh sesuatu pancingan atau tekanan, bahkan pada saat yang amat gawat, yakni ketika Mu’awiyah memutuskan hendak memaksakan baiat bagi Yazid sebagai khalifah dengan kekuatan pedang.

     Mu’awiyah mengirim surat yang berisi pernyataan baiat kepada Marwan, gubernurnya di Madinah, dan menyuruhnya agar dibacakan kepada kaum Muslimin di masjid. Marwan melaksanakan perintah itu, namun saat ia belum selesai membaca, Abdurrahman bin Abu Bakar bangkit untuk mengubah suasana hening yang mencekam itu menjadi banjir protes dan perlawanan keras. Ia menyatakan, “Demi Allah, rupanya bukan yang terbaik yang engkau berikan kepada umat Nabi Muhammad, melainkan engkau hendak menjadikannya kerajaan seperti Romawi, hingga bila seorang kaisar meninggal, tampillah kaisar lain sebagai penggantinya.

     Abdurrahman melihat bahaya besar yang sedang mengancam Islam bila Mu’awiyah benar-benar melaksanakan keinginannya itu. Ia akan mengubah hukum Islam dan prinsip syura (di mana rakyat dapat memilih kepala negaranya), menjadi system monarki (di mana rakyat diperintah oleh raja-raja atau kaisar-kaisar yang akan mewarisi takhta secara turun-temurun).

     Saat itu juga, setelah Abdurrahman mengakhiri kecaman keras ini di hadapan Marwan, ia telah didukung oleh sejumlah Muslimin yang dipimpin oleh Al-Husain bin  Ali, Abdullah bin Az-Zubair, dan Abdullah bin Umar. Namun, setelah itu timbul suasana panas yang memaksa Ibnu Ali, Ibnu Zubair, dan Ibnu Umar tinggal diam terhadap rencana baiat yang hendak dilaksanakan Mu’awiyah dengan kekuatan senjata itu. Tetapi, Abdurrahman tetap menyatakan batalnya baiat ini secara terus terang.

     Mu’awiyah mengirim utusan untuk menyerahkan uang kepada Abdurrahman sebanyak 100 ribu dirham untuk menundukkan hatinya. Tetapi, putra Ash-Shiddiq itu melempar uang itu jauh-jauh, lalu berkata kepada utusan Mu’awiyah, “Kembalilah kepadanya dan katakan bahwa Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak akan pernah menjual agamanya dengan dunia.


     Ketika Abdurrahman mengetahui bahwa Mu’awiyah sedang bersiap-siap hendak melakukan kunjungan ke Madinah, Abdurrahman segera meninggalkan kota itu menuju Mekkah. Allah berkehendak menghindarkan dirinya dari bencana dan akibat pendiriannya ini. Karena, ketika ia baru sampai di dataran tinggi Mekkah dan tinggal sebentar di sana, rohnya berangkat menemui Allah. Orang-orang mengusung jenasahnya dibahu mereka dan membawanya ke dataran tinggi Mekkah lalu memakamkannya di sana, di bawah tanah yang telah menyaksikan masa jahiliyah sekaligus masa Islamnya. Keislaman seorang lelaki yang jujur, berjiwa bebas, dan ksatria.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf