بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Umar bila sedang membagi-bagikan sesuatu
kepada kaum Muslimin, ia memang membeda-bedakan sesuai dengan kelebihan dan
jasa mereka terhadap Islam. Karena itu, Abdullah khawatir bila kedudukannya
dalam Islam itu berada dalam urutan terakhir, padahal ia sangat mengharapkan
agar dengan ketaatan, jihad, zuhud, dan kesalehannya akan tercatat di sisi
Allah sebagai salah seorang dari angkatan pelopor dan barisan depan.
Karena itu, ia menanyakan kapada ayahnya,
“Mengapa ayah lebih mengutamakan Usamah
daripada anakmu sendiri, padahal anakmu ini telah mengikuti Rasulullah dalam
peperangan yang tidak diikuti olehnya?”
Umar menjawab, “Usamah
lebih dicintai Rasulullah daripada kamu, sebagaimana ayahnya lebih disayangi daripada
ayahmu.”
Siapakah sebenarnya ia dan ayahnya yang di
hati Rasulullah lebih dicintai daripada Abdullah bin Umar, bahkan Umar sendiri?
Itulah dia, Usamah bin Zaid. Para shahabatnya memberikan gelar kepadanya “Orang Kesayangan, Putra Orang Kesayangan”. Ayahnya,
Zaid bin Haritsah adalah pelayan Rasulullah yang lebih mengutamakan beliau
daripada ibu, bapak, dan kaum keluarganya. Oleh karena Rasulullah, ia pernah
dihadapkan kepada sejumlah shahabat, lalu beliau bersabda, “Aku
persaksikan kepada kalian semua bahwa Zaid ini adalah putraku, yang akan
menjadi ahli warisku, dan aku akan menjadi ahli warisnya.” Maka dia pun menjadi terkenal di kalangan kaum
Muslimin sebagai Zaid bin Muhammad sampai Al-Qur’an yang mulia menghapus
kebiasaan menisbatkan nama ayah kepada anak angkat, yang akhirnya nama Muhammad
tidak dinisbatkan kepada Zaid dan namanya pun kembali menjadi Zaid bin
Harotsah.
Usamah ini adalah putranya, sedangkan
ibunya ialah Ummu Aiman, mantan budak dan pengasuh Rasulullah. Mengenai rupa
dan penampilan luar, ia mungkin tidak tampak menarik untuk digambarkan. Ia,
seperti yang disebutkan oleh para sejarawan dan ahli-ahli riwayat, berkulit
hitam dan berhidung pesek. Memang, sejarah telah menyimpulkan pembicaraan
tentang fisik Usamah dengan dua kata itu saja.
Tetapi, sejak kapan Islam mementingkan
rupa dan penampilan luar seseorang? Kapankah itu dimulai bila memang ada?
Padahal Rasulullah sendiri telah mengatakan, “Ingatlah,
betapa orang yang berambut kusut masai, dengan tubuh penuh debu dengan pakaian
yang usang dan lapuk hingga tidak diacuhkan orang, tetapi bila ia memohon
kepada Allah pasti akan dikabulkan permohonannya.”
Bila demikian, kita tinggalkan saja
pembicaraan tentang penampilan luar Usamah. Kita tinggalkan kulitnya yang hitam
dan hidungnya yang pesek karena semua itu tidak ada nilai dan pengaruhnya. Mari
kita alihkan perhatian kita kepada loyalitas, pembelaan, keagungan jiwa, dan
kualitas hidupnya. Dalam semua aspek itu ia telah mencapai batas yang
memungkinkan dirinya layak menerima limpahan kecintaan dan penghargaan
Rasulullah seperti diungkapkan dalam sabda beliau, “Sungguh,
Usamah bin Zaid adalah orang yang paling kusayangi, dan aku berharap ia
termasuk orang-orang saleh di antara kalian. Karena itu, hendaknya kalian
saling menasihati dalam kebaikan tentang dirinya.”
Usamah memiliki semua sifat utama yang
menyebabkan dirinya dekat di hati Rasulullah dan besar dalam pandangan mata
beliau. Ia adalah putra dari sepasang Muslim yang mulia dan termasuk rombongan
pertama yang masuk Islam, di samping paling dekat dan dicintai Rasulullah. Ia
juga termasuk di antara putra-putra Islam yang murni dilahirkan dalam keislaman
dan disusukan dari sumbernya yang bersih tanpa dikotori oleh debu jahiliyah
yang gelap gulita.
Walaupun usianya masih muda, ia telah
menjadi seorang Mukmin yang tangguh dan Muslim yang kuat, yang mampu tanggung
jawab keimanan dan agamanya dengan kecintaan yang mendalam dan kemauan yang
membaja. Di samping itu, ia merupakan sosok yang sangat cerdas dan benar-benar
rendah hati. Ia tidak pernah mengenal istilah lelah dalam berjuang di jalan
Allah dan Rasul-Nya.
Selain itu semua, dalam agama baru ini ia
menjadi korban diskriminasi ras yang hendak dihapus dan dilenyapkan oleh Islam.
Meski hitam kulitnya dan oesek hidungnya, ia telah berhasil merebut kedudukan
tinggi di hati Nabi dan barisan kaum Muslimin karena agama yang telah dipilih
Allah bagi hamba-hamba-Nya telah meluruskan barometer untuk mengukur derajat
dan ketinggian manusia itu dengan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
QS:Al-Hujuraat
| Ayat: 13
Salah satu wujudnya, kita melihat ketika
Rasulullah memasuki kota Mekkah pada hari pembebasan yang agung itu, pendamping
beliau adalah Usamah bin Zaid. Kemudian kita juga melihat beliau memasuki Ka’bah
pada saat-saat yang paling mengharukan dan penuh kenangan itu dalam keadaan
diapit di sebelah kanan oleh Bilal bin Rabah dan di sebelah kiri oleh Usamah
bin Zaid. Mereka berdua adalah dua insane dengan tubuh yang dilindungi oleh
kulit yang hitam pekat. Namun, kalimat-kalimat Allah yang memenuhi hati mereka
yang luas dan suci telah menyepuh kulit mereka itu dengan warna yang gemilang,
melambangkan kemuliaan dan ketinggian.
Dalam usia yang masih remaja dan belum
mencapai usia 20 tahun, Usamah telah diangkat oleh Rasulullah sebagai penglima
tentara yang di antara prajurit-prajuritnya terdapat Abu Bakar dan Umar. Di
kalangan sebagian kaum Muslimin terdengar desas-desus keberatan mereka terhadap
putusan ini. Mereka menganggap tidak pada tempatnya mengangkat seorang pemuda
yang masih beliau seperti Usamah bin Zaid untuk memimpin pasukan yang di
dalamnya terdapat tokoh-tokoh Muhajirin dan pemuka Anshar.
Suara-suara yang tidak baik itu akhirnya
sampai juga ke pendengaran telinga Rasulullah. Karena itu, beliau naik ke atas
mimbar, lalu menyampaikan puji dan syukur kepada Allah, kemudian bersabda, “Sebagian
orang menodai pengangkatan Usamah bin Zaid sebagai panglima. Mereka dahulu juga
menodai pengangkatan ayahnya sebagai pemimpin. Padahal, ayahnya sungguh
diciptakan untuk menjadi pemimpin, sehingga anaknya pun pantas mendapatkan itu.
Ia adalah orang yang paling kusayangi setelah ayahnya, dan aku berharap ia
menjadi prang saleh di antara kalian. Karena itu, hendaknya kalian saling
memberikan nasihat yang baik tentang dirinya.”
Sebelum tentara itu bergerak menuju
tujuannya, Rasulullah wafat. Tetapi, beliau telah meninggalkan wasiat yang
bijaksana kepada para shahabat, “Laksanakanlah pengiriman pasukan
Usamah. Teruskanlah pemberangkatannya.”
Wasiat ini dijunjung tinggi oleh khalifah Abu Bakar. Walaupun suasana
sepeninggal Rasulullah telah berubah, Abu Bakar bersikeras hendak melaksanakan
wasiat dan perintah beliau. Akhirnya pasukan Usamah diberangkatkan ke tempat
yang telah ditetapkan, dan itu terjadi setelah Khalifah meminta izin kepada
Usamah agar Umar diperbolehkan tinggal di Madinah untuk mendampinginya.
Ketika Kaisar Romawi Heraklius mendengar
berita tentang wafatnya Rasulullah, dan pada waktu yang sama menerima berita
kedatangan tentara Islam yang akan menyerang perbatasan Syria di bawah pimpinan
Usamah bin Zaid, ia merasa heran terhadap kekuatan kaum Muslimin karena
wafatnya Rasulullah sedikit pun tidak mempengaruhi rencana dan kemampuan
mereka.
Pada akhirnya, pihak Romawi merasa ciut
dan tidak berani lagi menjadikan perbatasan Syam sebagai poin dan batu loncatan
untuk menyerang wilayah Islam di Jazirah Arab. Pasukan Usamah kembali ke
Madinah tanpa meninggalkan korban, hingga orang-orang Islam saling berkata, “Tidak
pernah kita lihat pasukan yang lebih selamat daripada pasukan Islam.”
Suatu hari Usamah menerima sebuah
pelajaran yang sangat berharga bagi hidupnya dari Rasulullah. Pelajaran yang
akan menjadi pedoman bagi Usamah sepanjang hayatnya, sejak ia ditinggalkan oleh
Rasulullah sampai ia menyusul ke sisi Allah pada akhir masa pemerintahan
Mu’awiyah.
Dua tahun sebelum Rasulullah wafat, beliau
mengirim Usamah sebagai komando pasukan untuk menghadapi sebagian orang-orang
musyrik yang menentang Islam dan menyerang kaum Muslimin. Peristiwa itu
merupakan pengangkatan pertama dirinya sebagai panglima perang. Usamah berhasil
mencapai kemenangan dalam tugas tersebut. Berita kemenangannya telah lebih dulu
sampai kepada Rasulullah dan beliau merasa bahagia.
Marilah kita dengarkan Usamah memaparkan
peristiwa itu selanjutnya, “…aku menjumpai Nabi saat beliau sudah
mendengarkan berita kemenangan dan ternyata wajah beliau berseri-seri. Beliau
menyuruhku mendekat, kemudian bersabda, ‘Ceritakanlah
kepadaku!’ aku pun bercerita kepada beliau dan bahwa ketika musuh
mengalami kekalahan, aku menemui salah seorang musuh dan aku hampir saja
menusukkan tombakku kepadanya. Tiba-tiba ia mengucapkan ‘Tiada tuhan selain Allah.’ Namun, aku tetap menusuknya
hingga tewas.
Wajah Rasulullah tiba-tiba berubah, lalu bersabda, ‘Celakalah kamu, wahai Usamah. Bagaimana nasibmu nanti dengan
ucapan ‘Tiada tuhan selain Allah’ itu? Celakalah kamu, wahai Usamah. Bagaimana
nasibmu nanti dengan ucapan ‘Tiada tuhan selain Allah’ itu?’
Rasulullah terus mengulangi ucapan itu hingga ingin rasanya aku
mengakhiri semua perbuatan yang telah aku kerjakan, lalu mulai saat itu
menghadapi Islam dengan halaman baru. Demi Allah, aku tidak akan membunuh lagi
orang yang mengucapkan ‘Tiada tuhan Selain Allah’,
setelah mendengar kata-kata dari Rasulullah itu.”
Itulah pelajaran agung yang sangat berarti
dalam kehidupan Usamah, orang kesayangan putra kesayangan, sejak ia
mendengarnya dari Rasulullah sampai ia berpisah dari dunia dalam keadaan ridha
dan diridhai.
Kata-kata Rasulullah tersebut benar-benar
merupakan pelajaran yang tinggi. Pelajaran yang mengungkapkan kemanusiaan,
keadilan, keluhuran prinsip, keagungan agama, dan akhlak Rasulullah. Lelaki
yang kematiannya disesalkan oleh Nabi ini dan yang menyebabkan Usamah mendapatkan
peringatan keras dari beliau karena telah membunuhnya adalah seorang musyrik
pemanggul senjata. Ia mengucapkan tiada
tuhan selain Allah itu saat tangan kanannya yang menghunus pedang yang
masih berlekatan irisan-irisan daging yang direnggutkannya dari tubuh kaum
Muslimin. Kalimat itu diucapkan agar ia selamat dari pukulan yang mematikan
atau sebagai siasat agar ia memperoleh kesempatan untuk mrnciptakan suasana
baru, hingga ia dapat melanjutkan serangan kembali.
Meskipun demikian, karena lidahnya telah
bergerak dan mengucapkannya, maka dengan sebab ini darahnya menjadi suci.
Keselamatan serta nyawanya terjamin pada saat itu dan karenanya. Pelajaran ini
diperhatikan oleh Usamah sampai akhir. Bila orang dalam keadaan seperti itu
dilarang oleh Rasulullah untuk membunuhnya karena ia telah mengucapkan tiada tuhan selain Allah, bagaimana
terhadap orang yang benar-benar beriman dan benar-benar beragama Islam?
Hal ini bisa kita lihat ketika terjadi
fitnah besar antara Ali dan pendukungnya di satu pihak dan Mu’awiyah beserta
pengikutnya di lain pihak. Usamah dalam hal ini mengambil sikap tidak memihak
kepada siapa pun secara mutlak. Ia sebenarnya sangat mencintai Ali dan
berpendapat bahwa Ali di berpihak yang benar. Tetapi, bagaimana mungkin ia bisa
membunuh seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dengan
pedangnya, sedangkan ia telah mendapat peringatan keras dari Rasulullah karena
membunuh seorang musyrik yang memanggul senjata yang saat kalah dan lari
mengucapkan tiada tuhan selain Allah?
Ketika itu ia mengirim surat kepada Ali,
yang di antaranya berisikan, “Seandainya engkau berasa di mulut
singa sekalipun, aku bersedia masuk bersamamu ke dalamnya. Mengenai urusan ini,
tidak masuk dalam pikiranku.”
Jadi, selama perselisihan dan peperangan
itu ia tetap berada di rumahnya dan tidak ingin keluar sama sekali. Ketika
beberapa orang shahabat manjumpai dan menanyakan pendiriannya, ia berkata
kepada mereka, “Aku tidak akan memerangi orang yang
mengucapkan tiada tuhan selain Allah untuk selamanya.”
Salah seorang di antara mereka
mendebatnya, “Bukankah Allah berfirman, ‘Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah dan agama
seluruhnya menjadi milik Allah.’?”
Usamah menjawab, “Itu
terhadap orang-orang musyrik, dan kita telah memerangi mereka hingga fitnah
menjadi lenyap dan agama seluruhnya menjadi milik Allah.”
Pada tahun 54 H Usamah sudah rindu sekali
untuk berjumpa dengan Allah, hingga rohnya telah resah gelisah dalam rongga
dadanya, ingin segera kembali ke tempat asalnya. Pintu-pintu surga terbuka
untuk menyambut krpulangan seorang yang berbakti dan bertakwa tersebut.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar