Rabu, 01 Januari 2014

Filled Under:

Abu Sufyan bin Al-Harits (Dari kegelapan Menuju Cahaya).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ia adalah Abu Sufyan bin Al-Haritsah, bukan Abu Sufyan bin Harb. Kisahnya merupakan kisah tentang petunjuk setelah tersesat, cinta setelah benci, dan bahagia setelah sengsara. Ini merupakan kisah tentang rahmat Allah sangat luas ketika pintu-pintunya terbuka lebar untuk seorang hamba yang pasrah di hadapan Allah setelah mengalami penderitaan yang berlarut-larut.

     Bayangkanlah, selama dua puluh tahun Ibnu Al-Harits menjalaninya permusuhan yang tidak pernah kenal lelah terhadap Islam. Dua puluh tahun sejak Nabi diutus sampai menjelang hari pembebasan Mekkah yang agung itu, Abu Sufyan menjadi pengobar orang-orang untuk menyerang Nabi, di samping selalu mengambil bagian dalam peperangan yang dilancarkannya terhadap Islam.

     Ia memiliki tiga saudara, yaitu Naufal, Rabi’ah, dan Abdullah, yang telah lebih dulu masuk Islam. Abu Sufyan ini sebenarnya saudara sepupu Nabi karena dia adalah putra paman beliau, AL-Harits bin Abdul Muthalib. Di samping itu, ia juga saudara sesusuan nabi karena selama beberapa hari ia disusui oleh ibu susuan Nabi, Halimah As-Sa’diyah.

     Suatu hari, takdir memanggilnya kepada jalan hidup yang bahagia. Ia memanggil putranya, Ja’far, dan mengatakan kepada keluarganya bahwa ia bersama anaknya akan bepergian. Ketika ditanya ke mana tujuannya, ia menjawab, “Kepada Rasulullah untuk menyerahkan diri bersama beliau kepada Allah Sang pencipta semesta alam.

     Ia berangkat dengan menepaki bumi dengan kudanya dengan hati yang sudah dihinggapi oleh keinsafan. Ketika tiba di Abwa’, ia melihat barisan depan sebuah pasukan besar. Ia segera tahu bahwa itu adalah tentara Rasulullah yang bergerak ke Mekkah untuk membebaskannya. Ia belum tahu apa yang harus dilakukannya.

     Rasulullah telah menghalalkan darahnya karena sudah sekian lama ia menghunuskan pedang untuk memerangi Islam dan mempergunakan lisannya untuk mengecam penuh dengan sindiran. Bila salah seorang prajurit Islam melihatnya, bisa dipastikan ia akan segera menuntut balas atas ulahnya selama ini. Karena itu, ia memutar otak untuk menemukan cara bagaimana menemui Nabi sebelum ketahuan oleh orang lain.

     Akhirnya, Abu Sufyan menyamar hingga tidak diketahui siapa dirinya. Dengan memegang tangan putranya, ia berjalan kaki cukup jauh hingga akhirnya dapat melihat Rasulullah sedang berjalan bersama para shahabatnya. Ia menyingkir sampai rombongan berhenti. Tiba-tiba, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah sambil membuka penutup mukanya. Beliau memalingkan muka darinya. Abu Sufyan mendatangi arah lain, tetapi Rasulullah tetap menghindarkan diri darinya.

     Abu Sufyan bersama putranya kemudian berseru secara bersamaan, “Kami bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.

     Abu Sufyan lalu mendekati Nabi seraya berkata, “Janganlah ada dendam dan penyesalan, wahai Rasulullah.

     Rasulullah pun menjawab, “Tidak ada dendam dan penyesalan, wahai Abu Sufyan.

     Kemudian Rasulullah menyerahkannya kepada Ali bin Abu Thalib. Beliau bersabda, “Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudhu dan ajaran sunnah, kemudian bawa lagi ke sini.

     Ali membawanya pergi, kemudian kembali. Rasulullah bersabda, “Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridha kepada Abu Sufyan dan mereka pun hendaknya ridha kepadanya.

     Waktu yang hanya sekejap itu mengubah segalanya. Rasulullah bersabda kepadanya, “Gunakanlah masa yang penuh berkah.” Sejak itu, segala dimensi kesesatan dan kesengsaraan tergulung dan berganti menjadi pintu rahmat yang tiada batas.

     Abu Sufyan sebenarnya hampir masuk Islam ketika melihat sesuatu yang membingungkan hatinya ketika Perang Badar. Dalam peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut berperang dan mengutus Al-Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, Abu Lahab menunggu-nunggu berita pertempuran, namun yang datang ternyata adalah berita kekalahan pahit bagi pihak Quraish.

     Suatu hari, ketija Abu Lahab sedang duduk di dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Quraish, tiba-tiba terlihat oleh mereka seorang berkuda yang datang menghampiri. Setelah dekat, ternyata orang itu adalah Abu Sufyan bin Al-Harits. Tanpa menunggu lama, Abu Lahab langsung memanggilnya, “Mendekatlah ke sini, wahai keponakanku. Engkau pasti membawa berita baru. Ceritakanlah kepada kami bagaimana keadaan di sana.

     Abu Sufyan Al-Harits menjawab, “Demi Allah, tidak ada berita selain bahwa kami menemui kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, sehingga mereka bisa membunuh dan menawan kami sesuka hati mereka. Demi Allah, aku tidak dapat menyalahkan orang-orang Quraish. Kami berhadapan dengan orang-orang yang serba putih mengendarai kuda hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun.

     Maksud Abu Sufyan dalam ceritanya itu ialah para malaikat yang ikut bertempur bersama Rasulullah dan kaum Muslimin. Tetapi, mengapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan keajaiban itu?

     Jawabannya, keraguan itu merupakan jalan menuju keyakinan. Seberapa besar dan kuat keraguan Abu Sufyan bin Al-Harits terhadap keyakinan lama, maka keyakinan baru yang timbul pada waktu itu sebesar dan sekuat itu pula. Saat petunjuk dan keyakinan itu telah tiba, ia pun masuk Islam dan menyerahkan diri kepada Allah Yang Maha Esa.

     Sejak awal dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan berlomba dengan waktu dalam beribadah dan berjihad untuk menghapus noda-noda masa lalu dan membayar kerugian selama ini. Ia selalu keluar bersama Rasulullah dalam setiap peperangan yang terjadi setelah pembebasan Mekkah.

     Ketika Perang Hunain, orang-orang musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan pasukan tersembunyi, yang tanpa diduga sebelumnya menyerbu kaum Muslimin hingga barisan mereka kocar-kacir. Sebagian besar tentara islam melarikan diri, tetapi Rasulullah tidak beranjak dari posisinya. Beliau menyeru, “Wahai manusia, aku ini seorang nabi yang tidak berdusta. Aku adalah putra Abdul Muthalib.

     Pada saat-saat yang mengkhawatirkan itu, masih ada beberapa shahabat yang tidak goyah oleh serangan yang tiba-tiba itu. Di antara mereka adalah Abu Sufyan bin Al-Harits dan putranya, Ja’far. Waktu itu Abu Sufyan memegang tali kekang kuda Rasulullah. Ketika ia melihat apa yang terjadi, ia yakin bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini telah datang. Kesempatan itu ialah jihad di jalan Allah hingga menemui kesyahidan di hadapan Rasulullah. Dia pun maju memegang tali kekang kuda Rasulullah dengan tangan kirinya dan menebas leher musuh dengan tangan kanannya.

     Ia tetap dalam posisi ini hingga kaum Muslimin kembali ke medan pertempuran hingga akhir. Rasulullah menatapnya lama, lalu bersabda, “Saudaraku, Abu Sufyan bin Al-Harits.” Mendengar Rasulullah memanggilnya dengan sebutan “saudaraku”, ia merasa seolah-olah terbang ke angkasa karena bahagia dan terhormat. Ia langsung bersimpuh di kaki Rasulullah, menciumi dan membasahinya dengan air mata.

     Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, lalu menggubah syair yang mengungkapkan kebahagiaan atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya:

Bani Ka’ab dan Amir telah mengetahui

Peristiwa Hunain ketika barisan telah tercerai berai

Aku adalah shahabat pertempuran yang tidak takut keganasan

Membela Rasulullah dan tak pernah goyah

Mengharapkan pahala dari Allah

Yang Maha Pengasih dan kepada-Nya semua urusan akan kembali.

     Abu Sufyan mendedikasikan hidupnya untuk ibadah secara maksimal. Sepeninggal Rasulullah, rohnya mendambakan perpisahan dengan jasadnya agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Ia tetap menjalani hidupnua seperti biasa, tetapi perjumpaan dengan Rasulullah di alam selanjutnya tetap menjadi harapan besar baginya.

     Suatu hari orang-orang melihatnya berada di Baqi’ sedang menggali liang kubur dan menyiapkannya dengan baik. Ketika orang-orang menunjukkan keheranan mereka, ia berkata, “Aku sedang menyiapkan kuburan untukku.


     Tiga hari setelah itu, ia terbaring di rumahnya, sedangkan keluarganya menangis di sekelilingnya. Ia membuka matanya penuh dengan ketenangan dan berkata kepada mereka, “Janganlah kalian menangisi aku karena aku tidak pernah berlumur dosa sejak aku masuk Islam.” Sebelum kepalanya terkulai di atas dadanya, ia mengangkatnya sedikit ke atas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia fana ini.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf