بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Bayangkanlah, selama dua puluh tahun Ibnu
Al-Harits menjalaninya permusuhan yang tidak pernah kenal lelah terhadap Islam.
Dua puluh tahun sejak Nabi diutus sampai menjelang hari pembebasan Mekkah yang
agung itu, Abu Sufyan menjadi pengobar orang-orang untuk menyerang Nabi, di
samping selalu mengambil bagian dalam peperangan yang dilancarkannya terhadap
Islam.
Ia memiliki tiga saudara, yaitu Naufal,
Rabi’ah, dan Abdullah, yang telah lebih dulu masuk Islam. Abu Sufyan ini
sebenarnya saudara sepupu Nabi karena dia adalah putra paman beliau, AL-Harits
bin Abdul Muthalib. Di samping itu, ia juga saudara sesusuan nabi karena selama
beberapa hari ia disusui oleh ibu susuan Nabi, Halimah As-Sa’diyah.
Suatu hari, takdir memanggilnya kepada
jalan hidup yang bahagia. Ia memanggil putranya, Ja’far, dan mengatakan kepada
keluarganya bahwa ia bersama anaknya akan bepergian. Ketika ditanya ke mana
tujuannya, ia menjawab, “Kepada Rasulullah untuk menyerahkan
diri bersama beliau kepada Allah Sang pencipta semesta alam.”
Ia berangkat dengan menepaki bumi dengan
kudanya dengan hati yang sudah dihinggapi oleh keinsafan. Ketika tiba di Abwa’,
ia melihat barisan depan sebuah pasukan besar. Ia segera tahu bahwa itu adalah
tentara Rasulullah yang bergerak ke Mekkah untuk membebaskannya. Ia belum tahu
apa yang harus dilakukannya.
Rasulullah telah menghalalkan darahnya
karena sudah sekian lama ia menghunuskan pedang untuk memerangi Islam dan
mempergunakan lisannya untuk mengecam penuh dengan sindiran. Bila salah seorang
prajurit Islam melihatnya, bisa dipastikan ia akan segera menuntut balas atas
ulahnya selama ini. Karena itu, ia memutar otak untuk menemukan cara bagaimana
menemui Nabi sebelum ketahuan oleh orang lain.
Akhirnya, Abu Sufyan menyamar hingga tidak
diketahui siapa dirinya. Dengan memegang tangan putranya, ia berjalan kaki
cukup jauh hingga akhirnya dapat melihat Rasulullah sedang berjalan bersama
para shahabatnya. Ia menyingkir sampai rombongan berhenti. Tiba-tiba, Abu
Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah sambil membuka penutup
mukanya. Beliau memalingkan muka darinya. Abu Sufyan mendatangi arah lain,
tetapi Rasulullah tetap menghindarkan diri darinya.
Abu Sufyan bersama putranya kemudian
berseru secara bersamaan, “Kami bersaksi bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.”
Abu
Sufyan lalu mendekati Nabi seraya berkata, “Janganlah
ada dendam dan penyesalan, wahai Rasulullah.”
Rasulullah pun menjawab, “Tidak
ada dendam dan penyesalan, wahai Abu Sufyan.”
Kemudian Rasulullah menyerahkannya kepada
Ali bin Abu Thalib. Beliau bersabda, “Ajarkanlah
kepada saudara sepupumu ini cara berwudhu dan ajaran sunnah, kemudian bawa lagi
ke sini.”
Ali membawanya pergi, kemudian kembali.
Rasulullah bersabda, “Umumkanlah kepada orang-orang bahwa
Rasulullah telah ridha kepada Abu Sufyan dan mereka pun hendaknya ridha
kepadanya.”
Waktu yang hanya sekejap itu mengubah
segalanya. Rasulullah bersabda kepadanya, “Gunakanlah
masa yang penuh berkah.” Sejak itu,
segala dimensi kesesatan dan kesengsaraan tergulung dan berganti menjadi pintu
rahmat yang tiada batas.
Abu Sufyan sebenarnya hampir masuk Islam
ketika melihat sesuatu yang membingungkan hatinya ketika Perang Badar. Dalam
peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut berperang dan mengutus Al-Ash bin Hisyam
sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, Abu Lahab menunggu-nunggu
berita pertempuran, namun yang datang ternyata adalah berita kekalahan pahit
bagi pihak Quraish.
Suatu hari, ketija Abu Lahab sedang duduk
di dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Quraish, tiba-tiba terlihat oleh
mereka seorang berkuda yang datang menghampiri. Setelah dekat, ternyata orang
itu adalah Abu Sufyan bin Al-Harits. Tanpa menunggu lama, Abu Lahab langsung
memanggilnya, “Mendekatlah ke sini, wahai
keponakanku. Engkau pasti membawa berita baru. Ceritakanlah kepada kami
bagaimana keadaan di sana.”
Abu Sufyan Al-Harits menjawab, “Demi
Allah, tidak ada berita selain bahwa kami menemui kaum yang kepada mereka kami
serahkan leher-leher kami, sehingga mereka bisa membunuh dan menawan kami
sesuka hati mereka. Demi Allah, aku tidak dapat menyalahkan orang-orang
Quraish. Kami berhadapan dengan orang-orang yang serba putih mengendarai kuda
hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan
suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun.”
Maksud Abu Sufyan dalam ceritanya itu
ialah para malaikat yang ikut bertempur bersama Rasulullah dan kaum Muslimin.
Tetapi, mengapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan
keajaiban itu?
Jawabannya, keraguan itu merupakan jalan
menuju keyakinan. Seberapa besar dan kuat keraguan Abu Sufyan bin Al-Harits
terhadap keyakinan lama, maka keyakinan baru yang timbul pada waktu itu sebesar
dan sekuat itu pula. Saat petunjuk dan keyakinan itu telah tiba, ia pun masuk Islam
dan menyerahkan diri kepada Allah Yang Maha Esa.
Sejak awal dari detik-detik keislamannya,
Abu Sufyan berlomba dengan waktu dalam beribadah dan berjihad untuk menghapus
noda-noda masa lalu dan membayar kerugian selama ini. Ia selalu keluar bersama
Rasulullah dalam setiap peperangan yang terjadi setelah pembebasan Mekkah.
Ketika Perang Hunain, orang-orang musyrik
memasang perangkapnya dan menyiapkan pasukan tersembunyi, yang tanpa diduga
sebelumnya menyerbu kaum Muslimin hingga barisan mereka kocar-kacir. Sebagian
besar tentara islam melarikan diri, tetapi Rasulullah tidak beranjak dari
posisinya. Beliau menyeru, “Wahai manusia, aku ini seorang nabi
yang tidak berdusta. Aku adalah putra Abdul Muthalib.”
Pada saat-saat yang mengkhawatirkan itu,
masih ada beberapa shahabat yang tidak goyah oleh serangan yang tiba-tiba itu.
Di antara mereka adalah Abu Sufyan bin Al-Harits dan putranya, Ja’far. Waktu
itu Abu Sufyan memegang tali kekang kuda Rasulullah. Ketika ia melihat apa yang
terjadi, ia yakin bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini telah
datang. Kesempatan itu ialah jihad di jalan Allah hingga menemui kesyahidan di
hadapan Rasulullah. Dia pun maju memegang tali kekang kuda Rasulullah dengan
tangan kirinya dan menebas leher musuh dengan tangan kanannya.
Ia tetap dalam posisi ini hingga kaum
Muslimin kembali ke medan pertempuran hingga akhir. Rasulullah menatapnya lama,
lalu bersabda, “Saudaraku, Abu Sufyan bin Al-Harits.” Mendengar Rasulullah memanggilnya dengan
sebutan “saudaraku”, ia merasa seolah-olah
terbang ke angkasa karena bahagia dan terhormat. Ia langsung bersimpuh di kaki
Rasulullah, menciumi dan membasahinya dengan air mata.
Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya,
lalu menggubah syair yang mengungkapkan kebahagiaan atas keberanian dan taufik
yang telah dikaruniakan Allah kepadanya:
Bani Ka’ab
dan Amir telah mengetahui
Peristiwa
Hunain ketika barisan telah tercerai berai
Aku adalah
shahabat pertempuran yang tidak takut keganasan
Membela
Rasulullah dan tak pernah goyah
Mengharapkan
pahala dari Allah
Yang Maha
Pengasih dan kepada-Nya semua urusan akan kembali.
Abu Sufyan mendedikasikan hidupnya untuk ibadah secara maksimal.
Sepeninggal Rasulullah, rohnya mendambakan perpisahan dengan jasadnya agar
dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Ia tetap menjalani hidupnua
seperti biasa, tetapi perjumpaan dengan Rasulullah di alam selanjutnya tetap
menjadi harapan besar baginya.
Suatu hari orang-orang melihatnya berada di Baqi’ sedang menggali liang
kubur dan menyiapkannya dengan baik. Ketika orang-orang menunjukkan keheranan
mereka, ia berkata, “Aku sedang menyiapkan kuburan untukku.”
Tiga hari setelah itu, ia terbaring di rumahnya, sedangkan keluarganya
menangis di sekelilingnya. Ia membuka matanya penuh dengan ketenangan dan
berkata kepada mereka, “Janganlah kalian menangisi aku karena
aku tidak pernah berlumur dosa sejak aku masuk Islam.” Sebelum kepalanya terkulai di atas dadanya, ia mengangkatnya
sedikit ke atas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia
fana ini.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar