بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Imran bin Hushain merupakan gambaran yang melegakan hati bagi kejujuran,
kezuhudan, kesalehan, pengabdian, kecintaan, dan ketaatan kepada Allah. Meski
dalam hidupnya ia selalu mendapatkan taufik dan petunjuk Allah yang tidak
terkira, ia sering menangis mengucurkan air mata, dan meratap, “Wahai,
seandainya aku ini menjadi debu yang diterbangkan angin saja.”
Orang-orang seperti Imran bin Hushain takut kepada Allah bukanlah karena
banyak melakukan dosa karena setelah menganut Islam, bisa dikatakan mereka
tidak memiliki dosa. Mereka menangis karena takut dan khawatir yang timbul dari
pengetahuan mereka terhadap keagungan dan kebesaran-Nya, di samping kesadaran
mereka atas kelemahan mereka dalam bersyukur dan beribadah. Mereka merasa belum
melakukan apa-apa meski telah tunduk, rukuk, sujud, dan beribadah sepenuhnya.
Suatu saat beberapa shahabat menanyakan kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, mengapa kami ini bila sedang berada di sisimu, hati kami enjadi
lunak hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu kami
lihat dengan mata kepala. Tetapi, ketika kami meninggalkanmu dan kami kembali
ke keluarga, anak-anak dan dunia kami, kami menjadi orang yang lupa diri?”
Rasulullah menjawab, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya,
seandainya kalian selalu berada dalam keadaan seperti saat di sisiku, para
malaikat pasti akan menampakkan diri dan menjabat tangan kalian. Namun, ada
waktu di mana keimanan itu meningkat dan ada wakunya menurun.”
Imran bin Hushain mendengar pembicaraan itu. Seketika itu kerinduannya
bergejolak dan ia seolah-olah bersumpah pada dirinya untuk tidak pernah berada
kecuali dalam keadaan yang mulia tersebu, bahkan walau terpaksa menembusnya
dengan nyawanya sekalipun. Ia seolah-olah tidak puas bila harus menjalani
hidupnya dalam dua waktu itu; waktu keimanan meningkat dan menurun pada waktu
lain. Ia menginginkan seluruh hidupnya dalam keadaan pada waktu pertama saja,
tanpa putus untuk memusatkan perhatian dan selalu beribadah kepada Allah Yang
Maha Esa.
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab, Imran
dikirim ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan membimbing mereka mendalami
agama. Di Bashrah inilah ia melabuhkan kendaraannya, dan sejak penduduk
setempat mengenalnya, mereka berdatangan untuk mendapatkan berkah ilmunya dan
meniru ketakwaannya. Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin menuturkan, “Tidak
seorang pun di antara shahabat Rasulullah yang datang ke Bashrah lebih utama
daripada Imran bin Hushain.”
Imran tidak ada kesibukan apa pun yang mengganggunya dari Allah dan
beribadah kepada-Nya. Ia selalu sibuk dengan ibadah. Keasyikannya dengan ibadah
ini seolah-olah ia bukan penduduk bumi yang hidup di atasnya dan di antara
sesama manusia. Sungguh, ia lebih cocok bila dikatakan sebagai malaikat yang
hidup di lingkungan para malaikat, bergaul dan berbicara dengan mereka, bertemu
dan bersalaman dengan mereka.
Ketika terjadi pertentangan tajam di antara kaum Muslimin, yaitu kubu
antara Ali dan Mu’awiyah, Imran bukan saja menunjukkan sikap tidak memihak
kepada siapa pun, melainkan juga meneriakkan kepada umat agar ikut campur
tangan dalam perang tersebut. Ia menyeru agar mereka hanya membela dan
mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Ia berkata kepada mereka, “Aku
lebih suka menjadi penggembala rusa di puncak bukit sampai mati daripada
melepaskan anak panah ke salah satu pihak, baik meleset maupun tidak.”
Ia selalu berpesan kepada
orang-orang Islam yang ditemuinya, “Tetaplah tinggal di masjidmu. Jika ada
yang mengganggumu di masjid, tinggallah di rumahmu. Jika rumah engkau juga
diganggu oleh orang yang hendak merampas harta atau membunuhmu, bunuhlah dia.”
Keimanan Imran bin hushain membuahkan hasil yang gemilang. Ketika ia
mengidap suatu penyakit yang selalu mengganggunya selama tiga puluh tahun, ia
tidak pernah merasa kecewa atau mengeluh, meskipun hanya ucapan “aduh”. Sebaliknya, ia tidak henti-hentinya beribadah
kepada-Nya, baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun terbaring.
Ketika para shahabat dan orang-orang yang dekat dengannya menjenguk dan
menghibur hatinya atas penyakit yang dideritanya, ia hanya tersenyum seraya
berkata, “Sesungguhnya perkara yang paling aku sukai
ialah perkara yang disukai oleh Allah.” Ketika ia
hendak meninggal, wasiatnya kepada kaum kerabat dan para shahabatnya ialah, “Jika
kalian telah kembali dari pemakamanku, sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan
makanan.”
Mereka memang pantas menyembeluh hewan dan mengadakan jamuan makan
karena kematian seorang Mukmin seperti Imran bin Hushain bukanlah merupakan
kematian yang sesungguhnya, melainkan sebuah pelepasan pengantin yang agung dan
mulia, di mana roh yang telah tinggi dan ridha di arak ke surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, yang disediakan badi orang-orang yang bertakwa.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar