Jumat, 24 Januari 2014

Filled Under:

Al-Mutsana bin Harits Asy-Syaibani (Tak Terpuruk Karena Kekalahan).



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Islam terus melakukan perluasan ke beberapa wilayah. Di antaranya adalah Persia, suatu wilayah dengan peradaban yang tinggi yang sempat membuat kaum Muslimin gentar untuk menghadapinya.  Namun, di tengah-tengah ketakutan kaum Muslimin melawan Persia, ada seorang yang amat berpengaruh dalam membakar semangat jihad. Dialah Al-Mutsana bin Haritsah.

     Al-Mutsana bin Haritsah dikenal sebagai Syaihul Harb, atau ahli strategi perang di masyarakatnya. Ia berasal dari suku Syaiban, sebuah suku yang berada di Iraq, wilayah yang berbatasan langsung dengan Persia dan Arab. Suku ini sempat didatangi oleh Rasulullah untuk dijadikan sebagai pusat kota umat Islam saat Mekkah tidak lagi kondusif.

     Meski masyarakatnya mau menerima Islam, namun mereka belum siap menerima Rasulullah dan umat Muslim di wilayahnya, karena keterikatan mereka dengan penguasa Persia yang kejam. Ketika itu Al-Mutsana bin Haritsah diminta untuk menyampaikan kalimat-Nya, maka ia mengatakan, “Kami ini adalah masyarakat yang tinggal di antara dua wilayah. Wilayah sungai-sungai yang dikuasai Persia, dan mata-mata air yang dikuasai oleh masyarakat Arab. Kalau sungai-sungai ini adalah sungai-sungai yang siapa pun berbuat kesalahan di sini termasuk kami, itu tidak akan bisa dimaafkan. Tetapi kemudian jika kesalahan itu terjadi di mata air Arab, maka mereka masih memiliki toleransi. Kami siap untuk membela engkau tetapi  di wilayah Arab, bukan di wilayah Persia.

     Bagaimanakah proses keislaman Al-Mutsana? Keislamannya itu terjadi pada tahun 9 H, setahun setelah peristiwa penaklukkan kota Mekkah. Secara terbuka Al-Mutsana bersama masyarakat Bani Syaiban menyatakan keislaman mereka. Namun peran Al-Mutsana dalam membela Islam baru tercatat di awal kekhalifahan Abu Bakar. Saat Abu Bakar baru saja memimpin, gerakan-gerakan murtad dan munculnya nabi palsu tumbuh menjamur di wilayah Arab.  Maka sang khalifah segera membentuk pasukan untuk diutus ke daerah-daerah yang mengalami pembelokkan akidah. Peran Al-Mutsana tercatat di dalam jihad melawan murtadin di wilayah Bahrain.

     Menjelang akhir masa kekhalifahan Abu Bakar, Al-Mutsana menemui sang khalifah untuk meminta izin agar menjadi pemimpin di kaumnya dalam upaya memerangi Persia. Dia pun berkata kepada khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Persia adalah negeri yang sangat kaya raya, namun kaumnya berbuat kerusakan dan zalim. Menurutku, ini adalah waktu yang tepat untuk mengirim pasukan Muslimin ke wilayah Iraq dan menyebarkan dakwah di sana. Wahai Khalifah Rasulullah, izinkan aku menjadi pemimpin bagi kaumku. Aku akan memerangi orang-orang Persia, maka itu akan cukup bagiku.”

     Khalifah Abu Bakar pun menjawab, “Aku izinkan kamu, wahai Al-Mutsana.” Setelah mendapat izin dari sang khalifah, maka ia menjadi orang pertama yang menyemangati masyarakatnya agar berani melawan Persia.

     Dua tahun masa kekhalifahan Abu Bakar, Al-Mutsana di bawah komando Khalid bin Al-Walid berhasil mengalahkan Persia di beberapa peperangan. Di masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab, khalifah Umar membentuk dua pasukan yang bertugas menaklukkan Romawi di Syam dan Persia. Banyak umat Muslim yang enggan berangkat mengingat reputasi kekuatan musuh pada saat itu yang menakutkan.

     Sebaliknya, Al-Mutsana justru kembali membakar semangat kaumnya untuk melawan penjajahan Persia di wilayahnya. Kemudian dia juga melakukan sebuah langkah yang sangat menarik dan itu pelajaran mahal untuk kita semua, di mana Al-Mutsana merupakan pemimpin panglima yang dikenal sangat dekat dengan seluruh prajuritnya. Hari ini kita sering menyebutnya sebagai satu sosok yang sangat sederhana, sosok yang begitu merakyat. Ini bukan hanya sebuah kalimat basa-basi, tetapi ini adalah sikap yang dicontoh oleh Al-Mutsana bin Haritsah kepada kita. Sampai masyarakatnya mengatakan, “Untuk anda, anda telah membuktikan tak hanya kalimat tapi juga dalam perbuatan.

     Al-Mutsana biasa duduk bersama prajuritnya, berbincang, berdialog, menghibur siapa pun, walaupun dirinya sedang senang maupun sedang susah tetap ia datangi. Inilah salah satu kunci besar ketika di perang berikutnya di tahun yang sama, tahun 13 H, saat itu tepat bulan Ramadhan, yang dikenal dengan perang Huaib.

     Sementara di Madinah, Khalifah Umar yang melihat ketakutan umatnya tak henti-hentinya memberikan motivasi agar berani berjihad melawan Persia. Seruan jihad Umar disambut oleh Abu Ubaid bin Mas’ud yang kemudian ditunjuk menjadi panglima perang. Penunjukkan Abu Ubaid sekaligus menggantikan posisi Al-Mutsana sebagai panglima perang.

     Maka berangkatlah pasukan Muslim di bawah komando Abu Ubaid menuju pertempuran Jisr di Iraq. Namun di peperangan yang terjadi di tahun ke 13 ini, pasukan Muslim gagal menaklukkan Persia. Dikenal Jisr yang berarti jembatan karena perang ini terjadi di dekat jembatan di atas sungai Efrat.

     Di saat itu, Al-Mutsana mengambil alih posisi Abu Ubaid setelah Abu Ubaid, sang panglima dan dengan 7 panglima selanjutnya menjadi korban semua dalam perang itu. Al-Mutsana kemudian melakukan banyak hal. Ada beberapa hal yang menarik dan ini menunjukkan dia seorang pemimpin yang sangat luar biasa. Yang dia lakukan yang pertama adalah disaat dia memancing pasukan Pesia untuk mengejar mereka. Hingga ketika sampai di suatu wilayah yang cukup jauh dari camp Persia, maka di saat itulah Al-Mutsana melakukan serangan sangat mendadak sehingga mengejutkan pasukan Persia. Hingga Al-Mutsana berhasil menangkap dua panglima Persia lalu membunuhnya. Dan inilah kemudian yang mengangkat semangat Muslimin bahwa ternyata  kaum Muslimin masih bisa menaklukkan Persia.

     Bulan Ramadhan tahun 13 H, kaum Muslimun kembali melanjutkan peperangan melawan Persia di perang Huaib. Di peperangan ini, Al-Mutsana kembali terjun langsung menjadi panglima perang pasukan. Di medan Huaib ini, Al-Mutsana mendapatkan bantuan pasukan dari Iraq yang dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid. Namun, ketika Khalid tiba, justru komando tertinggi diserahkan kepada sang pemilik pedang Allah yang terhunus ini, Khalid bin Al-Walid. Meski tak lagi memegang komando pasukan, Al-Mutsana tetap sepenuh hati memperjuangkan agama Allah.

     Di tengah peperangan, khalifah Umar memanggil Khalid untuk bertugas di wilayah Syam untuk menundukkan Romawi. Hingga pucuk kepemimpinan pasukan kemballi diserahkan kepada Al-Mutsana. Untuk melengkapi kekosongan yang ditinggalkan Khalid, Amirul Mukminin Umar mengirimkan bantuan pasukan yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abu Waqqash. Di saaat itu pula, kondisi Al-Mutsana semakin melemah karena luka yang ia dapat di Perang Jisr.

     Mengetahui ajalnya semakin mendekat, Al-Mutsana segera meninggalkan pesan strategi perang untuk panglima penggantinya. Namun takdir berkata lain. Al-Mutsana menghembuskan nafas terakhirnya sebelum pasukan Sa’ad bin Abu Waqqash tiba di Huaib.

     Al-Mutsana adalah orang yang sangat senior, karena dia tahu persis keadaan Persia karena memang ia tinggal di wilayah yang dikuasai oleh Persia. Tetapi ini semua tidak membuat ia orang yang mudah tersinggung ketika keahliannya itu harus tergeser oleh orang lain yang bahkan baru sekali datang ke negeri Persia. Kelapangan hati yang luar biasa, seorang Al-Mutsana ini tidak pernah menunjukkan dirinya dengan mengatakan, “Aku adalah penduduk asli di sini, aku lebih tahu wiilayah ini.” Inilah bentuk kematangan jiwanya dalam berjamaah dengan Muslimin lain. Ia menerima keputusan Khalifah, pemimpin yang bisa dipercaya itu.

     Dan muncullah pelajaran dari sini, bahwa kita ini berjuang di jalan Allah di mana pun kita berada, di mana pun posisi kita. Hari ini mungkin kita panglimanya, tetapi suatu saat nanti kita mungkin akan menjadi bawahannya. Namun, jika hendak berjuang di jalan Allah tidak mengenal posisi kita, karena berjuang di jalan Allah ini yang dicatat adalah kita berjuang di jalan Allah dan memang hanya untuk Allah, bukan karena posisi.

     Meski tak sempat menyelesaikan tugasnya di Perang Huaib, strategi perang yang dirancang oleh Al-Mutsana berhasil membuahkan kemenangan. Atas keberaniannya, ketakutan kaum Muslimin pada kekejaman Persia berhasil dipatahkan dan dipadamkan oleh perjuangan Al-Mutsana.  Hingga akhirnya kejayaan Persia dimiliki oleh umat Muslim atas pertolongan dari Allah sang pencipta semesta alam.


     Walaupun dirinya tidak menikmati kemenangan ini, dirinya sudah memperoleh kenikmatan yang luar biasa, yaitu surga. Semoga Allah meridhaimu, wahai Al-Mutsana bin Harits




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf