بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Islam terus melakukan perluasan ke beberapa wilayah. Di antaranya
adalah Persia, suatu wilayah dengan peradaban yang tinggi yang sempat membuat
kaum Muslimin gentar untuk menghadapinya.
Namun, di tengah-tengah ketakutan kaum Muslimin melawan Persia, ada
seorang yang amat berpengaruh dalam membakar semangat jihad. Dialah Al-Mutsana
bin Haritsah.
Al-Mutsana bin Haritsah dikenal sebagai
Syaihul Harb, atau ahli strategi perang di masyarakatnya. Ia berasal dari suku
Syaiban, sebuah suku yang berada di Iraq, wilayah yang berbatasan langsung
dengan Persia dan Arab. Suku ini sempat didatangi oleh Rasulullah untuk
dijadikan sebagai pusat kota umat Islam saat Mekkah tidak lagi kondusif.
Meski masyarakatnya mau menerima Islam,
namun mereka belum siap menerima Rasulullah dan umat Muslim di wilayahnya,
karena keterikatan mereka dengan penguasa Persia yang kejam. Ketika itu
Al-Mutsana bin Haritsah diminta untuk menyampaikan kalimat-Nya, maka ia mengatakan,
“Kami ini adalah masyarakat yang tinggal di
antara dua wilayah. Wilayah sungai-sungai yang dikuasai Persia, dan mata-mata
air yang dikuasai oleh masyarakat Arab. Kalau sungai-sungai ini adalah
sungai-sungai yang siapa pun berbuat kesalahan di sini termasuk kami, itu tidak
akan bisa dimaafkan. Tetapi kemudian jika kesalahan itu terjadi di mata air
Arab, maka mereka masih memiliki toleransi. Kami siap untuk membela engkau
tetapi di wilayah Arab, bukan di wilayah
Persia.”
Bagaimanakah proses keislaman Al-Mutsana?
Keislamannya itu terjadi pada tahun 9 H, setahun setelah peristiwa penaklukkan
kota Mekkah. Secara terbuka Al-Mutsana bersama masyarakat Bani Syaiban
menyatakan keislaman mereka. Namun peran Al-Mutsana dalam membela Islam baru
tercatat di awal kekhalifahan Abu Bakar. Saat Abu Bakar baru saja memimpin,
gerakan-gerakan murtad dan munculnya nabi palsu tumbuh menjamur di wilayah
Arab. Maka sang khalifah segera
membentuk pasukan untuk diutus ke daerah-daerah yang mengalami pembelokkan
akidah. Peran Al-Mutsana tercatat di dalam jihad melawan murtadin di wilayah
Bahrain.
Menjelang akhir masa kekhalifahan Abu
Bakar, Al-Mutsana menemui sang khalifah untuk meminta izin agar menjadi
pemimpin di kaumnya dalam upaya memerangi Persia. Dia pun berkata kepada
khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Persia adalah negeri yang sangat kaya
raya, namun kaumnya berbuat kerusakan dan zalim. Menurutku, ini adalah waktu
yang tepat untuk mengirim pasukan Muslimin ke wilayah Iraq dan menyebarkan
dakwah di sana. Wahai Khalifah Rasulullah, izinkan aku menjadi pemimpin bagi
kaumku. Aku akan memerangi orang-orang Persia, maka itu akan cukup bagiku.”
Khalifah Abu Bakar pun menjawab, “Aku
izinkan kamu, wahai Al-Mutsana.”
Setelah mendapat izin dari sang khalifah, maka ia menjadi orang pertama yang
menyemangati masyarakatnya agar berani melawan Persia.
Dua tahun masa kekhalifahan Abu Bakar,
Al-Mutsana di bawah komando Khalid bin Al-Walid berhasil mengalahkan Persia di
beberapa peperangan. Di masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab, khalifah Umar
membentuk dua pasukan yang bertugas menaklukkan Romawi di Syam dan Persia.
Banyak umat Muslim yang enggan berangkat mengingat reputasi kekuatan musuh pada
saat itu yang menakutkan.
Sebaliknya, Al-Mutsana justru kembali
membakar semangat kaumnya untuk melawan penjajahan Persia di wilayahnya. Kemudian
dia juga melakukan sebuah langkah yang sangat menarik dan itu pelajaran mahal
untuk kita semua, di mana Al-Mutsana merupakan pemimpin panglima yang dikenal
sangat dekat dengan seluruh prajuritnya. Hari ini kita sering menyebutnya
sebagai satu sosok yang sangat sederhana, sosok yang begitu merakyat. Ini bukan
hanya sebuah kalimat basa-basi, tetapi ini adalah sikap yang dicontoh oleh Al-Mutsana
bin Haritsah kepada kita. Sampai masyarakatnya mengatakan, “Untuk
anda, anda telah membuktikan tak hanya kalimat tapi juga dalam perbuatan.”
Al-Mutsana biasa duduk bersama
prajuritnya, berbincang, berdialog, menghibur siapa pun, walaupun dirinya
sedang senang maupun sedang susah tetap ia datangi. Inilah salah satu kunci
besar ketika di perang berikutnya di tahun yang sama, tahun 13 H, saat itu
tepat bulan Ramadhan, yang dikenal dengan perang Huaib.
Sementara di Madinah, Khalifah Umar yang
melihat ketakutan umatnya tak henti-hentinya memberikan motivasi agar berani
berjihad melawan Persia. Seruan jihad Umar disambut oleh Abu Ubaid bin Mas’ud
yang kemudian ditunjuk menjadi panglima perang. Penunjukkan Abu Ubaid sekaligus
menggantikan posisi Al-Mutsana sebagai panglima perang.
Maka berangkatlah pasukan Muslim di bawah
komando Abu Ubaid menuju pertempuran Jisr di Iraq. Namun di peperangan yang
terjadi di tahun ke 13 ini, pasukan Muslim gagal menaklukkan Persia. Dikenal
Jisr yang berarti jembatan karena perang ini terjadi di dekat jembatan di atas
sungai Efrat.
Di saat itu, Al-Mutsana mengambil alih
posisi Abu Ubaid setelah Abu Ubaid, sang panglima dan dengan 7 panglima selanjutnya
menjadi korban semua dalam perang itu. Al-Mutsana kemudian melakukan banyak
hal. Ada beberapa hal yang menarik dan ini menunjukkan dia seorang pemimpin
yang sangat luar biasa. Yang dia lakukan yang pertama adalah disaat dia
memancing pasukan Pesia untuk mengejar mereka. Hingga ketika sampai di suatu
wilayah yang cukup jauh dari camp Persia, maka di saat itulah Al-Mutsana
melakukan serangan sangat mendadak sehingga mengejutkan pasukan Persia. Hingga
Al-Mutsana berhasil menangkap dua panglima Persia lalu membunuhnya. Dan inilah
kemudian yang mengangkat semangat Muslimin bahwa ternyata kaum Muslimin masih bisa menaklukkan Persia.
Bulan Ramadhan tahun 13 H, kaum Muslimun
kembali melanjutkan peperangan melawan Persia di perang Huaib. Di peperangan
ini, Al-Mutsana kembali terjun langsung menjadi panglima perang pasukan. Di medan
Huaib ini, Al-Mutsana mendapatkan bantuan pasukan dari Iraq yang dipimpin oleh
Khalid bin Al-Walid. Namun, ketika Khalid tiba, justru komando tertinggi
diserahkan kepada sang pemilik pedang Allah yang terhunus ini, Khalid bin
Al-Walid. Meski tak lagi memegang komando pasukan, Al-Mutsana tetap sepenuh
hati memperjuangkan agama Allah.
Di tengah peperangan, khalifah Umar
memanggil Khalid untuk bertugas di wilayah Syam untuk menundukkan Romawi.
Hingga pucuk kepemimpinan pasukan kemballi diserahkan kepada Al-Mutsana. Untuk
melengkapi kekosongan yang ditinggalkan Khalid, Amirul Mukminin Umar
mengirimkan bantuan pasukan yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abu Waqqash. Di saaat
itu pula, kondisi Al-Mutsana semakin melemah karena luka yang ia dapat di
Perang Jisr.
Mengetahui ajalnya semakin mendekat,
Al-Mutsana segera meninggalkan pesan strategi perang untuk panglima
penggantinya. Namun takdir berkata lain. Al-Mutsana menghembuskan nafas
terakhirnya sebelum pasukan Sa’ad bin Abu Waqqash tiba di Huaib.
Al-Mutsana adalah orang yang sangat senior,
karena dia tahu persis keadaan Persia karena memang ia tinggal di wilayah yang
dikuasai oleh Persia. Tetapi ini semua tidak membuat ia orang yang mudah
tersinggung ketika keahliannya itu harus tergeser oleh orang lain yang bahkan
baru sekali datang ke negeri Persia. Kelapangan hati yang luar biasa, seorang Al-Mutsana
ini tidak pernah menunjukkan dirinya dengan mengatakan, “Aku
adalah penduduk asli di sini, aku lebih tahu wiilayah ini.” Inilah bentuk kematangan jiwanya dalam
berjamaah dengan Muslimin lain. Ia menerima keputusan Khalifah, pemimpin yang
bisa dipercaya itu.
Dan muncullah pelajaran dari sini, bahwa
kita ini berjuang di jalan Allah di mana pun kita berada, di mana pun posisi
kita. Hari ini mungkin kita panglimanya, tetapi suatu saat nanti kita mungkin
akan menjadi bawahannya. Namun, jika hendak berjuang di jalan Allah tidak
mengenal posisi kita, karena berjuang di jalan Allah ini yang dicatat adalah
kita berjuang di jalan Allah dan memang hanya untuk Allah, bukan karena posisi.
Meski tak sempat menyelesaikan tugasnya di
Perang Huaib, strategi perang yang dirancang oleh Al-Mutsana berhasil
membuahkan kemenangan. Atas keberaniannya, ketakutan kaum Muslimin pada
kekejaman Persia berhasil dipatahkan dan dipadamkan oleh perjuangan Al-Mutsana. Hingga akhirnya kejayaan Persia dimiliki oleh
umat Muslim atas pertolongan dari Allah sang pencipta semesta alam.
Walaupun dirinya tidak menikmati
kemenangan ini, dirinya sudah memperoleh kenikmatan yang luar biasa, yaitu
surga. Semoga Allah meridhaimu, wahai Al-Mutsana bin Harits
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar