بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
.jpg)
Sebuah tombak melesat dengan tepat mengenai tubuh sang nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab. Terbunuhnya sang nabi palsu ini, menandakan kemenangan bagi kaum Muslimin atas kekalahan kaum Murtad. Hal ini sekaligus menumpas gerakan murtad di Perang Yamamah di tahun 12 H.
Wahsyi bin Harb sang pemilik tombak in,
membuktikan keseriusannya untuk membela agama Allah dengan membunuh manusia
terburuk di zamannya. Ini dilakukannya untuk menebus kesalahannya di masa
lampau, yakni sebuah kesalahan yang selalu mengusik kehidupannya karena ia
telah membunuh sosok yang amat dicintai oleh Rasulullah.
Wahsyi bin Harb, sebuah nama yang
menunjukkan kebuasan dirinya. Dalam bahasa Arab, Wahsyi berarti buas dan Harb
memiliki arti perang. Sejarah mulai mencatat kehidupan Wahsyi, seorang berkulit
hitam asal Habasyah saat ia berada di
Mekkah menjadi budak seprang pembeasr Quraisy, Jubair bin Muth’im.
Seperti kebanyakan orang di zaman itu,
orang-orang Quraisy memperlakukan budak dengan tidak semestinya. Seperti halnya
Jubair bin Muth’im, ia memperlakukan Wahsyi dengan tidak manusiawi. Saat itu
bdak dianggap tidak memiliki nilai. Mereka seolah terlahir hanya untuk
mengabdikan seluruh hidupnya kepada sang majikan. Maka begitu wajar jika para
budak termasuk Wahsyi begitu merindukan kebebasan.
Namun bagi Wahsyi, impian menjadi manusia
yang mereka hanya bisa menjadi angan-angannya saja. Sebab ia merasa tak
memiliki kesempatan untuk bebas dari perbudakan yang selama ini mengikatnya.
Hingga tiba saatnya Allah mengutus Rasulullah menebarkan hidayah di muka bumi.
Saat itulah Islam mulai mengajarkan
persamaan derajat manusia. Saat itu juga penduduk Mekkah terutama dari kaum
lemah satu persatu mulai mengikuti ajaran Rasulullah. Termasuk di antaranya
adalah Bilal bin Rabah. Namun tidak dengan Wahsyi bin Harb, ia tak percaya
Islam mampu memberinya persamaan derajat manusia. Ia juga tidak mau menerima resiko
kemarahan sang majikan apabila ia memeluk Islam.
Nampaknya ada hal yang perlu kia amati
mengapa ada perbedaan di antara Bilal dan Wahsyi. Padahal secara status sosial,
keberadaan mereka, asal mereka, dan warna kulit mereka sama. Tetapi ketika
Islam mulai menerangi Mekkah, tentu saja Bilal kedudukannya lebih tinggi
daripada Wahsyi. Dan tidak mengherankan ketika kita membaca sejarah awal
keduanya, sejak mereka berdua berada di Mekkah, dan sejak Rasulullah memulai
dakwahnya, Bilal bin Rabah itu sudah bersemangat sekali untuk menerima hidayah
itu. Sementara Wahsyi belum semangat untuk menerima hidayah dari Rasulullah,
maka dari itu berbeda sekali kedudukan di antara keduanya. Bilal dengan semua
keberaniannya mempertahankan ketauhidannya walaupun disiksa oleh majikannya.
Sementara Wahsyi ia ingin mempertahankan hidupnya dengan pertukaran apapun
walaupun dengan membunuh sebaik-baik orang, Hamzah bin Abdul Muthalib.
Datangnya Islam benar-benar memancing
kemarahan masyarakat Quraisy. Apalagi setelah mereka dikalahkan oleh kaum
Muslimin di Perang Perdana, Perang badar di tahun 2 H. Tidak sedikit tokoh
Quraisy yang tewas dikalahkan oleh kaum Muslimin. Kekalahan tersebut menyisakan
duka dan dendam yang mendalam. Tidak ada jalan lain selain menuntut balas di
peperangan selanjutnya.
Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba.
Orang-orang Quraish keluar, disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah
Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraish
kali ini adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari
buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembor-gemborkan sebelum perang,
dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah
sebagai sasaran dan target peperangan ini.
Momen balas dendam inilah yang membuka
jalan Wahsyi menuju gerbang kebebasannya. Karena sang majikan, Jubair bin
Muth’im akan memberinya imbalan yang sangat berharga, yakni membebaskannya jika
ia berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Kala perang
meletus, paman Jubair ini tewas di tengah medan perang dan ia ingin menuntut
balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah
bersama orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas.”
Kemudian mereka bawa budak itu kepada
Hindun binti Utbah, yakni istri Abu Sufyan, agar dihasut dan didesak untuk
melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah
kehilangan ayahnya, pamannya, saudaranya, dan putranya. Ia mendengar berita
bahwa Hamzah-lah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang
menyebabkan terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang
Quraish, baik laki-laki maupun perempuan, dialah yang paling getol menghasut
orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala
Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.
Berhari-hari lamanya sebelum peperangan
dimulai, tidak ada sesuatu pun yang dilakukan oleh Hindun selain menghasut
Wahsyi, serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya Hamzah dan
merencanakan peran yang akan dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan
kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikannya
kekayaan dan perhiasan yang paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut.
Sambil memegang anting-anting, permata yang mahal, serta kalung emas yang
melilit lehernya dengan jari-jari yang penuh dengan kebencian, dan dengan
pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu
dapat membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu.”
Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar
itu. Angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu
dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga
ia tidak lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera memiliki
barang-barang perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin dan
putri tokoh suku Quraisy.
Maka sembari membawa tombaknya, Wahsyi
dengan semangat berangkat ke medan Uhud bersama pasukan Quraisy lainnya.
Tujuannya bukan untuk membunuh musuh sebanyak-banyaknya, melainkan hanya satu
yang menjadi incarannya, yaitu dengan membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib yang
tak lain adalah paman Rasulullah. Hal ini dilakukannya adalah hanya untuk
menemui kebebasannya sebagai manusia seutuhnya.
Di saat sedang berlangsung, Wahsyi terus
menyelinap di tengah-tengah medan perang sambil mengintai paman Rasulullah. Di
tengah-tengah semangat jihad Hamzah bin Abdul Muthalib melawan para musyrikin,
ia terus membidik Hamzah menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan tombaknya.
Hingga tibalah saat yang tepat, dengan sigap ia melamparkan tombaknya dengan
penuh harapan.
Sekarang, mari kita persilahkan Wahsyi
sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:
“Saya seorang
Habasyah yang mahir melemparkan tombak dengan teknik khas Habasyah, hinnga
jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang telah mulai berperang,
saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga tampak di antara manusia tidak
ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang-orang dengan pedangnya hingga
tidak seorang pun yang dapat bertahan di depannya.
Demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi
di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat. Tiba-tiba
saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil di hadapannya. Tatkala
Hamzah melihat mukanya, ia pun berkata, ‘Mendekatlah ke sini, wahai anak tukang
potong kelintit <tukang sunat>!’ sejurus kemudianHamzah menebasnya dan
tepat mengenai kepalanya.
Ketika itu saya pun menggerakkan tombak dan mengambil ancang-ancang,
hingga setelah terasa tepat, saya melemparkannya hingga mengenai pinggang
bagian bawah dan tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. ia mencoba
bangkit ke arahku, tetapi ia tidak berdaya lalu roboh dan meninggal.
Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali ke
perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tidak ada lagi tugas dan
keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari perbudakan
yang menguasai.”
Tombaknya tepat mengenai tubuh Hamzah bin
Abdul Muthalib. Wahsyi bin Harb berhasil membunuh paman tercinta Rasulullah. Di
saat itu juga Hindun binti Utbah melampiaskan dendamnya dengan memakan jantung
Hamzah bin Abdul Muthalib.
Tragedi Uhud mengubah nasib Wahsyi bin
Harb dan Kerinduannya menjadi manusia yang merdeka puntelah ia capai. Ia pun
segera mengubah penampilannya menjadi layaknya manusia yang merdeka dari
perbudakan.
Namun, bukan sambutan baik yang ia terima.
Ia justru mendapatkan cemoohan dari masyarakat Quraisy. Wahsyi masih saja
direndahkan oleh masyarakat Quraisy. Perlakuan buruk yang ia terima tidak juga
membuka hatinya untuk memeluk Islam. Padahal ia telah melihat kemerdekaan
sejati pada diri Bilal bin Rabah yang dulunya bernasib sama seperti dirinya.
Hidayah Islam justru baru hinggap di
hatinya saat peristiwa pembebasan kota Mekkah. Di tahun 8 H, saat Rasulullah
dan 10.000 umat Muslim lainnya berbindong-bondong datang ke Mekkah untuk
mengembalikan kesucian kota Mekkah. Di saat kota Mekkah mulai dibebaskan oleh
kaum Muslimin, Wahsyi justru melarikan diri menuju ke Tha’if.
Tidak ada salahnya
bila kita persilahkan Wahsyi untuk menceritakan kisahnya:
“Sesampainya
di Mekkah, saya pun dibebaskan. Saya tetap bermukim di sana sampai kota itu
dimasuki oleh Rasulullah pada hari pembebasan. Akhirnya, saya lari ke Tha’if.
Ketika utusan Tha’if menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislaman, timbul
berbagai rencana dalam pikiran saya. Saya berbisik di dalam hati, lebih baik
aku pergi ke Syria, atau ke Yaman, atau ke tempat lain.
Demi Allah, ketika saya dalam kebingungan itu datanglah seseorang
mengatakan kepadaku, ‘Celakalah kamu! Rasulullah tidak
akan membunuh seseorang yang masuk agamanya.’ Akhirnya saya pergi untuk
menemui Rasulullah di Madinah. Beliau tidak melihatku kecuali ketika saya telah
berdiri di depan beliau mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ketika melihat saya itulah,
beliau bertanya, ‘Apakah kamu ini Wahsyi?’
‘Benar, wahai Rasulullah,’ jawabku.
‘Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh
Hamzah!’
Saya pun menceritakan kisah tersebut. Setelah saya selesai bercerita,
beliau bersabda, ‘Celakalah kamu, jauhkanlah wajahmu
dari pandanganku!’……..”
Demi hormatnya kepada Rasulullah, ia pun
tidak pernah menampakkan dirinya dihadapan Rasulullah. Ia hanya mampu menatap
Rasulullah secara diam-diam. Ia memahami luka hati Rasulullah yang senantiasa
sedih mengingat pamannya yang gugur di tangannya.
Hingga Rasulullah wafat di tahun 11 H,
Wahsyi tak pernah bertatap muka dengan Rasulullah. Maka inilah yang menjadi
titik tolak bagi kehidupannya. Baginya tak ada jalan lain selain menebus semua
kesalahan di masa lalunya dengan turut mengambil andil di setiap momen-momen
perjuangan Islam.
Di peristiwa Perang Yamamah di tahun 12 H,
Ia menebus kesalahannya. Di masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia terjun
di medan perang yang menumpas gerakkan murtad yang dipimpin oleh sang nabi
palsu, Musailamah Al-Kadzab. Di perang inilah tombaknya yang dulu pernah
membunuh manusia terbaik, menancap di tubuh menusia terburuk, Musailamah
Al-Kadzab. Sang nabi palsu pun tewas di tangan Wahsyi.
Marilah kita dengarkan kelanjutan dari
kisah sebelumnya, “Setelah itu, saya menghindarkan diri
dari hadapan dan jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah agar tidak kelihatan
beliau sampai saat beliau wafat. Tatkala kaum Muslimin bergerak untuk menumpas
pemberontakan nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab yang menguasai Yamamah, saya pun
ikut bersama mereka dan membawa tombak yang dahulu saya gunakan untuk membunuh
Hamzah.
Ketika orang-orang mulai bertempur, saya melihat Musailamah Al-Kadzab
sedang berdiri dengan pedang di tangan. Saya pun bersiap-siap dan mengambil
tombak sambil mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya
lemparkan tombak dan menemui sasarannya. Dengan demikian, dengan tombak itu
dahulu saya telah membunuh manusia terbaik, yaitu Hamzah; dan sekarang saya
berharap Allah akan mengampuniku karena dengan tombak itu pula saya telah
membunuh manusia terburuk, yaitu Musailamah Al-Kadzab.”
Di dalam naungan Islam, Wahsyi
menghabiskan sisa hidupnya dalamkebaikan. Dalam cahaya Islam, Wahsyi merasakan
benar-benar menjadi manusia merdeka yang hanya mengabdikan hidupnya kepada
Allah. Begitulah Islam mengajarkan persamaan derajat manusia.
Islam adalah agama yang sangat bersemangat
untuk menghilangkan sistem perbudakan. Namun, Islam tidak bisa memaksa seseorang
untuk membebaskan budak dari tuannya. Yang ada adalah Islam hanya memberikan
motivasi. Umpamanya adalah orang yang melanggar sumpah atas nama Allah, maka
salah satu tebusan dari kesalah itu adalah membebaskan budak. Kemudian
umpamanya kesalahan sepasang suami istri yang berhubungan di siang hari di saat
bulan Ramadhan, maka tebusannya juga membebaskan budak, dan begitulah
seterusnya. Secara tak langsung, Islam memberikan motivasi kepada masyarakatnya
untuk membebaskan budak.
Begitulah kisah kehidupan dari manusia
yang mulia ini, Wahsyi bin Harb. Semoga Allah meridhaimu, wahai Wahsyi.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar