Bila disebut nama Abu Bakar , Umar pasti berkata, “Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah
memerdekakan pemimpin kita.” Maksudnya adalah Bilal .
Seorang yang diberi gelar oleh Umar “Pemimpin Kita” tentu bukan orang sembarangan, melainkan sosok berkepribadian besar yang layak memperoleh kehormatan seperti itu! Tetapi, setiap menerima pujian yang ditujukan kepada dirinya, sosok yang digambarkan oleh para ahli riwayat sebagai laki-laki berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat, dan berjambang tipis ini justru menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata mengalir membasahi pipinya. Ia justru mengucapkan, “Saya ini hanyalah seorang dari Habasyah (Ethiopia), dan sebelum ini saya seorang budak.”
Nah, siapakah kiranya orang
Habasyah yang sebelumnya menjadi budak? Itulah dia Bilal bin Rabah , muazin
Islam dan pengguncang berhala yang dipuja oleh orang-orang Quraish sebagai
sesembahan. Bilal merupakan salah satu keajaiban iman dan kebenaran; salah satu
mukjizat Islam yang besar.
Dari setiap sepuluh orang,
sejak munculnya agama itu sampai sekarang, bahkan sampai kapan saja dikehendaki
Allah, kita akan menemukan sedikitnya tujuh orang mengenal Bilal . Artinya,
dalam pergantian kurun dan generasi terdapat jutaan manusia yang mengenal
Bilal , hafal namanya dan tahu riwayatnya secara lengkap, sebagaimana mereka
mengenal dua Khalifah terbesar dalam Islam; Abu Bakar dan Umar .
Sungguh, bila anda menanyakan
kepada setiap anak yang masih merangkak pada tahun-tahun pelajaran dasarnya,
baik di Mesir, Pakistan, maupun Cina, mereka pasti mengetahui siapa Bilal . Di
Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia, semua kenal Bilal . Di Iraq,
Syria, Turki, Iran, Sudan, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan di seluruh permukaan
bumi yang didiami oleh kaum Muslim, tidak ada yang tidak mengenalnya.
Anda akan dapat menanyakan
kepada setiap remaja Muslim, “Siapakah
Bilal itu, Nak?” mereka pasti akan menjawab, “Ia adalah muazin Rasul. Ia sebelumnya adalah seorang budak, yang
disiksa oleh tuannya dengan batu panas, agar ia meninggalkan agamanya, tetapi
ia menjawab,’Ahad… Ahad…(Allah Yang Maha Esa… Allah Yang Maha Esa)’. ”
Ketika anda mengetahui kenangan
abadi yang telah dianugerahkan Islam kepada Bilal tersebut, ketahuilah bahwa
sebelum Islam, Bilal ini tidak lebih dari seorang budak yang menggembalakan
unta milik tuannya dengan imbalan dua genggam kurma. Tanpa Islam, ia tidak akan
luput dari kenistaan perbudakan sampai maut datang merenggutnya dan setelah itu
orang melupakannya.
Kebenaran iman dan keagungan
agama yang diyakininya telah menempatkan kehidupan sejarah hidupnya pada
kedudukan tinggi dalam deretan tokoh-tokoh Islam dan orang-orang suci. Banyak
di antara orang-orang terkemuka, baik golongan berpengaruh maupun orang-orang
kaya, yang tidak berhasil mendapatkan meski hanya sepersepuluh dari keharuman
nama yang diperoleh Bilal , si budak Habasyah ini. Bahkan, tidak sedikit
tokoh-tokoh sejarah yang tidak mencapai separuh kemuliaan yang dicapai oleh
Bilal !
Kehitaman warna kulit,
kerendahan kasta dan bangsa, serta kehinaan dirinya di antara manusia selama
itu sebagai budak, sekali-kali tidaklah menutup pintu baginya untuk menempati
kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran, keyakinan, kesucian, dan
kesungguhannya setelah ia memasuki agama Islam.
Semua itu terjadi karena dalam
neraca penilaian dan penghormatan yang diberikan oleh orang-orang kepadanya,
hanyalah kekaguman terhadap kedudukan tinggi yang tidak semestinya. Orang
menyangka bahwa seorang hamba seperti Bilal , biasanya asal-usulnya tidak
menentu; tidak berdaya dan tidak mempunyai keluarga, serta tidak memiliki suatu
hak pun dalam hidupnya. Budak adalah milik tuannya yang telah membeli dengan
hartanya, dan kerjanya berada di tengah hewan ternak, pulang balik di antara
unta dan domba tuannya. Menurut dugaan mereka, makhluk seperti ini tidak akan
mampu melakukan sesuatu, atau menjadi sesuatu yang berarti.
Ternyata, Bilal tidak diduga
oleh kebanyakan orang. Buktinya, ia mampu mencapai derajat keimanan yang sulit
dicapai oleh orang lain. Ia menjadi muazin pertama bagi Rasulullah dan islam,
sebuah amal yang menjadi dambaan bagi setiap pemimpin dan pembesar Quraisy yang
telah masuk Islam dan menjadi pengikut Rasulullah.
Itulah dia, Bilal bin Rabah !
Seperti apakah sejatinya
kepahlawanan kebesaran yang disandang oleh ketiga kata ini: “Bilal bin Rabah ”?
Ia seorang Habasyah dari
golongan orang berkulit hitam. Takdir telah membawa nasibnya menjadi budak Bani
Jumah di kota Mekkah, karena ibundanya salah seorang hamba sahaya mereka.
Kehidupannya tidak berbeda dengan budak-budak lainnya. Hari-harinya telah
berlalu dalam rutinitas yang gersang, tidak ada satu haripun yang istimewa
baginya. Ia tidak menaruh harapan apa pun pada hari esok.
Pada akhirnya, berita-berita
mengenai Muhammad mulai sampai ke telinganya, yakni ketika orang-orang di
Mekkah menyampaikan berita itu dari mulut ke mulut. Selain itu, ia juga
mendengarkan perbincangan majikannya bersama para tamunya, terutama majikannya,
Umayyah bin Khalaf. Salah seorang pemuka Bani Jumah, yaitu kabilah yang menjadi
majikan yang dipertuan oleh Bilal .
Sekian lama, Bilal mendengarkan
ketika Umayyah membicarakan Rasulullah, baik dengan kawan-kawannya maupun
sesama anggota sukunya dan mengeluarkan kata-kata berbisa, penuh dengan amarah,
tuduhan dan kebencian. Di antara poin yang dapat ditangkap oleh Bilal dari
ucapan kemarahan yang tidak berujung pangkal itu, ialah sifat-sifat yang
melukiskan agama yang baru baginya. Menurutnya, sifat-sifat itu merupakan
perkara baru bila dipandang dari sudut lingkungan di mana ia tinggal. Selain
itu, di antara ucapan-ucapan yang keras penuh ancaman itu, Bilal juga mendengar
pengakuan mereka atas kemuliaan Muhammad; tentang kejujuran dan keterpercayaan
beliau.
Begitulah, Bilal mengetahui
bahwa mereka sebenarnya kagum dan tidak habis piker terhadap ajaran yang dibawa
oleh Muhammad. Sebagian mereka mengatakan kepada yang lain, “Tidak pernah Muhammad berdusta atau menjadi
tukang sihir. Ia tidak pula sinting atau berubah akal. Namun, kita terpaksa
menuduhnnya demikian untuk membendung orang-orang yang berlomba-lomba memasuki
agamanya.” Bilal mendengar mereka memperbincangkan kesetiaan Rasulullah dalam menjaga amanah, tentang kejujuran dan ketulusan beliau; tentang akhlak
dan kepribadian beliau.
Bilal juga mendengar mereka
berbisik-bisik mengenai sebab yang mendorong mereka menentang dan memusuhinya.
Pertama, adalah kesetian mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan oleh nenek
moyangnya, dan kedua adalah kekhawatiran mereka terhadap kedudukan Qurash saat
itu. Kedudukan yang mereka peroleh sebagai imbalan kedudukan mereka sebagai
pusat keagamaan, kiblat peribadatan, dan
ritual haji di seluruh Jazirah Arab. Alasan selanjutnya adalah kedengkian
mereka terhadap Bani Hasyim, mengapa Nabi muncul dari golongan ini dan bukan
dari pihak mereka?
Suatu hari Bilal bin Rabah melihat cahaya ilahi dan dari lubuk hatinya yang suci murni timbul keinginan
untuk menyambut sebuah pilihan utama. Karena itulah, ia menjumppai Rasulullah dan menyatakan masuk Islam. Tidak lama setelah itu, berita rahasia keislaman
Bilal pun tercium dan beredar di kepala tuan-tuannya dari Bani Jumah, yakni
kepala-kepala yang selama ini dikuasai oleh kesombangan dan ditindih oleh
kecongkakan. Karena itu tidak aneh bila setan-setan di muka bumi bersarang di
dalam Umayyah bin Khalaf, yang menganggap keislaman seorang hambanya sebagai
tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan mereka semua.
Kini budak mereka, orang
Habasyah itu, masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad. Namun, hati Umayyah
mengatakan, “Tidak apa-apa.” “Matahari yang terbit hari ini tidak akan
tenggelam dengan keislaman budak durhaka itu.” Katanya. Sekali-kali tidak,
bukan saja sang surya itu akan tenggelam dengan Islamnya Bilal , bahkan suatu
hari kelak matahari akan tenggelam dengan membawa semua patung-patung dan
pembela-pembela berhala itu.
Bilal sendiri bukan saja ia
mendapatkan kedudukan yang merupakan kehormatan bagi Islam semata – walau Islam
lebih memang lebih berhak untuk itu – melainkan juga merupakan kehormatan bagi
kemanusiaan secara umum. Ia telah menjadi sasaran berbagai macam siksaan
seperti dialami yang oleh tokoh-tokoh utama lainnya.
Allah seolah-olah menjadikannya
sebagai cermin bagi umat manusia, bahwa hitamnya warna kulit dan perbudakan
sekali-kali tidak menjadi penghalang untuk mencapai kebesaran jiwa, asal saja
ia beriman dan taat kepada Penciptanya serta memegang teguh hak-hak-Nya.
Bilal telah memberikan
pelajaran kepada orang-orang yang semasa dengannya, juga bagi orang-orang pada
zaman kapan pun, yang seagaman dengannya, bahkan bagi pengikut-pengikut bagi
agama lain; sutu pelajaran berharga yang menjelaskan bahwa kemerdekaan jiwa dan
kebesaran nurani tidak dapat dibeli dengan emas separuh bumi, atau dengan
siksaan bagaimana pun dahsyatnya.
Dalam keadaan telanjang ia
dibaringkan di atas bara, agar ia meninggalkan agamanya atau mencabut
pengakuannya. Namun, Bilal menolak. Karena itu, budak Habasyah yang lemah dan
tidak berdaya ini telah dijadikan oleh Rasulullah dan Islam sebagai guru bagi
seluruh kemanusiaan dalam persoalan menghormati hati nurani dan mempertahankan
kebebasan serta kemerdekaannya.
Siksaan kejam dan biadab ini
mereka lakukan setip hari, hingga karena dahsyatnya, hati beberapa orang di
antara algojo-algojo menaruh kasihan kepadanya dan melunak. Mereka berjanji dan
bersedia melepaskannya asal saja ia mau menyebut nama tuhan-tuhan mereka secara
baik-baik walau dengan sepatah kata sekali pun, tidak usah lebih, yang akan
menjaga nama baik mereka di mata umum, hingga tidak menjadi buah pembicaraan
bagi orang-orang Quraish; bahwa meraka telah mengalah dan bertekuk lutut kepada
seorang budak yang gigih dan keras kepala.
Namun, walau sepatah kata yang
dapat diucapkan bukan dari lubuk hati, dan yang dapat menebus nyawa dan
hidupnya tanpa kehilangan iman dan melepas keyakinannya, Bilal tidak ingin
mengucapkannya. Begitulah, ia menolak mengucapkan hal itu, dan sebagai gantinya
ia mengulang-ulang senandungnya yang abadi, “Ahad… Ahad…!” para algojo itu pun memaksanya, “Katakanlah seperti yang kami katakan!” tetapi, dengan ejekan pahit
dan menjengkelkan , Bilal menjawab, “Lidahku
tidak dapat mengucapkannya.”
Bilal tetap dapat deraan panas
dan tindihan batu, hingga ketika hari petang mereka menegakkan badannya dan
mengikatkan tali pada lehernya, lalu mereka suruh anak-anak untuk mengaraknya
keliling perbukitan dan jalan-jalan di Mekkah, sedangkan kedua bibir Bilal terus menerus melagukan senandung sucinya, “Ahad…!
Ahad…!”
Bila malam telah tiba,
orang-orang itu pun menawarkan kepadanya, “Besok,
ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap tuhan-tuhan kami, sebutlah: tuhanku
Latta dan ‘Uzza. Setelah itu kami lepaskan dan biarkan kamu sesuka hatimu!”
namun, dapat dipastikan Bilal akan menggelengkan kepalanya dan hanya menyebut,
“Ahad…! Ahad…!”
Karena tidak dapat menahan
gusar dan murka, Umayyah meninju Bilal sambil berteriak, “Kesialan apa yang menimpa kami disebabkan olehmu, wahai budak celaka?
Demi Latta dan ‘Uzza, aku akan menjadikan dirimu sebagai contoh bagi bangsa
budak dan majikan-majikan mereka!” dengan keyakinan seorang Mukmin dan
kebesaran orang suci, Bilal menjawab, “Ahad…!
Ahad…!”
Orang-orang yang diserahi tugas
berpura-pura menaruh belas kasihan kepadanya, kembal merujuk dan mengajukan
tawaran. Mereka berkata kepada Umayyah, “Biarkanlah
dia, wahai Umayyah! Demi Latta, ia tidak akan disiksa lagi setelah hari ini.
Bilal anak buah kita, bukankah ibunya budak kita? Ia tentu tidak akan rela bila
dengan keislamannya itu nama kita menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraish!”
Bilal menatap tajam wajah-wajah
para penipu dan pengatur muslihat licik itu. Tiba-tiba ketegangan itu menjadi
kendur oleh senyuman bagai cahaya fajar dari mulut Bilal . Dengan ketenangan
yang dapat mengguncang mereka, ia kembali berkata, Ahad…! Ahad…!“
Abu Bakar hendak membebaskan Bilal |
Ketika Ash-Shiddiq menggandeng lengan
Bilal dan membawanya ke alam bebas, Umayyah berkata kepadanya, “Bawalah ia! Demi Latta dan ‘Uzza, seandainya
harga tebusannya tidak lebih dari 1 uqiyah, pastilah ia akan kulepas juga!”
Abu Bakar tahu bagaimana
keputusasaan dan kepahitan akibat kegagalan yang tersirat dalam ucapan itu,
hingga lebih baik tidak melayaninya, tetapi, karena ini menyangkut kehormatan
seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi saudara yang tidak berbeda dengan
dirinya, ia pun membalas kata-kata Umayyah, “Demi Allah, andainya kalian tidak hendak menjualnya kecuali 100 uqiyah,
aku pasti akan membayarnya!”
Setelah itu, Abu Bakar pergi
bersama shahabatnya itu menghadap Rasulullah dan menyampaikan berita gembira
tentang kebebasan Bilal . Saat itu pun bagaikan hari raya besar.
Bilal mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya |
“Allahu Akbar…
Allahu Akbar
Allahu Akbar… Allahu
Akbar
Asyhadu allailaha
illallah
Asyhadu allailaha
illallah
Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah
Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah
Hayya ‘alas shalah
Hayya ‘alas shalah
Hayya ‘alal falah
Hayya ‘alal falah
Allahu Akbar… Allahu
Akbar
La ilaha illallah”
Suatu saat, terjadilah
peperangan antara kaum Muslimin dengan tentara Quraish yang datang menyerang
Madinah. Pertempuran berkecamuk dengan sangat sengit dan dahsyat. Bilal maju
dan menerjang dalam perang pertama pada masa Islam itu, yaitu Perang Badar,
yang sebagai semboyannya yang dititahkan oleh Rasulullah menggunakan ucapan, “Ahad…! Ahad…!”
Dalam peperangan ini Quraish
mengerahkan tenaga intinya. Para pemuka Quraish terjun untuk menemukan tempat
kematian mereka! Pada mulanya Umayyah bin Khalaf, yang tidak lain merupakan
bekas majikan Bilal yang telah menyiksanya secara kejam dan biadab, tidak
hendak ikut dalam peperangan itu.
Ia sebenarnya enggan untuk
berangkat kalau saja rekannya yang bernama Uqbah bin Abu Mu’ith tidak
menghampirinya, setelah ia mendengar keengganan dan sifat pengecutnya itu.
Uqbah menghampirinya sambil membawa anglo <yang biasanya digunakan oleh
wanita untuk mengasapi tubuh mereka dengan wewangian> di tangan kanannya.
“Keparat! Apa yang kau bawa ini?” teriak Umayah geram.
Akhirnya, tanpa bias mengelak,
ia terpaksa ikut berangkat dalam peperangan itu bersama kawan-kawannya.
Rahasia takdir apakah yang
kiranya tersembunyi di balik peristiwa ini? Sebelum itu, Uqbah bin Abu Mu’ith
adalah seorang yang paling gigih mendorong Umayyah untuk melakukan penyiksaan
terhadap Bilal dan kaum Muslimin yang tidak berdaya lainnya. Sekarang, ia
pulalah yang mendesaknya supaya ikut dalam Perang Badar, tempat ia akan menemui
ajalnya, sekaligus tempat kematian Uqbah itu sendiri.
Sekali lagi, Umayyah pada waktu
itu keberatan dan enggan untuk ikut dalam peperangan, dan kalau bukan karena
desakan Uqbah dengan cara sebagai kita ketahui itu, ia tidak akan ikut serta di
dalamnya. Tetapi, rencana Allah pasti berlaku. Umayyah harus ikut. Ada piutang
lama antara dirinya dengan seorang hamba Allah yang kini datang saatnya untuk
diseleseikan. Allah tidak pernah tidur. Bagaimana kalian memperlakukan orang
maka seperti itu pula kalian akan diperlakukan oleh orang lain.
Takdir ini memang harus terjadi
pada orang sombong! Uqbah yang kata-katanya didengar oleh Umayyah dan
kemauannya untuk menyiksa orang-orang Mukmin yang tidak berdosa diturutinya,
kini justru menyeret dirinya ke liang kubur. Di tangan siapakah kematiannya? Di
tangan Bilal , tidak lain di tangan Bilal itu sendiri! Tangan yang oleh Umayyah
dulu diikat dengan rantai, sedangkan pemilik tangannya sedang didera dan
disiksa. Dengan tangan itu pula pada hari itu, yaitu Perang Badar yang
merupakan saat yang tepat dan diatur oleh takdir, utang-piutang pun
diselesaikan dan perhitungan dengan algojo-algojo Quraish yang telah menimpakan
penghinaan dan kezaliman terhadap orang-orang Mukmin pun dilaksanakan.
Peristiwa ini terjadi dengan sempurna, tanpa ditambah atau dibumbui.
Ketika pertempuran di antara
dua belah pihak telah dimulai, dan barisan kaum Muslimin maju bergerak dengan
semboyannya, “Ahad…! Ahad…!” jantung
Umayyah bagai tercabut dari akarnya dan rasa takut menguasai dirinya. Kalimat
yang kemarin diulang-ulang oleh hambanya di bawah tekanan siksa dan dera,
sekarang telah menjadi semboyan dari suatu agama secara utuh, dan dari suatu
umat yang baru secara keseluruhan, “Ahad…! Ahad…!” mengapa secepat itu ucapan
tersebut berkembang? Ini adalah pertumbuhan yang sangat cepat.
Ditengah-tengah hiruk-pikuknya
perang, Abdurrahman membawa Umayyah ke tempat para tawanan. Namun, di tengah
Bilal sepintas melihatnya dan langsung berteriak, “Ini dia, gembong kekafiran, Umayyah bin Khalaf! Biarkanlah aku mati
daripada dia selamat.”
Seiring dengan teriakan itu,
Bilal mengangkat pedangnya hendak memenggal kepala yang selama ini menjadi
besar disebabkan kecongkakan dan kesombongan. Namun, Abdurrahman berkata
kepadanya, “Wahai Bilal , ini tawananku!”
“Tawanan? Bukankah pertempuran masih berkobar dan roda peperangan masih
berputar?” Tanya Bilal keheranan. Bagaimana mungkin ia menjadi tawanan,
sedangkan belum lama berselang senjatanya menghujam di tubuh kaum Muslimin yang
sampai sekarang masih meneteskan darahnya?
Tidak! Bagi Bilal itu artinya
ejekan dan penindasan. Cukuplah selama ini Umayyah mengolok-olok dan melakukan
penindasan. Ia telah menindas sedemikian rupa, hingga hari ini tidak ada lagi
kesempatan tersisa, dalam keadaan segawat ini; dalam momen yang menentukan ini!
Seketika itu pula serombongan
kaum Muslimin berdatangan dengan pedang penyebar maut di tangan mereka dan
mengepung Umayyah bersama putranya. Abdurrahman bin Auf tidak mampu berbuat
apa-apa, bahkan ia tidak mampu melindungi bajunya yang telah terkoyak-koyak
oleh desakan orang banyak.<Lihat: Zadul Ma’ad, Ibnu Qayyim:
II/89—edt.>
Bilal memandangi tubuh Umayyaah yang telah rubuh oleh
tebasan pedang-pedang itu lama sekali, kemudian ia bergegas meninggalkan tempat
itu, sementara suaranya yang nyaring mengumandangkan, “Ahad…! Ahad…!”
Saya pikir, kita tidak perlu
membahas keutamaan toleransi dari pihak Bilal dalam suasana seperti itu. Namun,
seandainya pertemuan antara Bilal dengan Umayyah terjadi pada suasana lain,
bolehlah kita meminta kepadanya agar member maaf, yang tidak mungkin ditolak oleh
Bilal , sosok yang keimanan dan ketakwaannya sangat tinggi.
Sebagaimana kita ketahui,
mereka bertemu di medan laga, tiap-tiap pihak datang ke arena pertempuran itu
dengan tujuan menghancurkan pihak lawannya. Pedang dan tombak berkelabat, para
korban berguguran, dan maut merajalela berseliweran! Tiba-tiba, pada saat
seperti itu, Bilal melihat Umayyah, yang
tidak sejengkal pun tubuhnya luput dari bekas kekejaman dan siksaan Umayyah.
Sekali lagi, di manakah Bilal melihat Umayyah dan dalam suasana seperti apa? Bilal melihatnya dalam kancah
pertempuran. Umayyah memenggal kepala kaum Muslimin yang ditemuinya, dan
seandainya ia mendapat kesempatan untuk memenggal kepala Bilal pada saat itu,
tentu ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu! Itulah keadaan yang terjadi saat kedua
laki-laki itu berhadapan muka! Dengan demikian, tidaklah adil menurut logika
bila kita bertanya kepada Bilal , mengapa ia tidak member maaf sebaik-baiknya.
Kebenaran telah datang, dan
kebathilan pun telah hancur lebur. Mulai hari ini tidak ada lagi ‘Uzza, Latta,
atau Hubal. Sejak saat itu, manusia tidak lagi menundukkan kepalanya ke batu
atau burhala, dan tidak ada lagi yang mereka puja sepenuh hati kecuali Allah
yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dialah Rabb Yang Maha Tunggal
lagi Maha Esa; Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Rasulullah memasuki Ka’bah
dengan membawa Bilal sebagai teman! Baru saja masuk, beliau telah berhadapan
dengan sebuah patung pahatan, menggambarka Ibrahim sedang berjudi dengan anak
panah. Rasulullah sangat murka. Beliau bersabda, “Semoga mereka dihancurkan oleh Allah! Nenek moyang kita tidak pernah
melakukan perjudian seperti ini. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi, atau
pun seorang Nasrani, melainkan seorang yang beragama suci dan seorang Muslim,
dan sekali-kali bukan dari golongan musyrik.”
Rasulullah memerintahkan Bilal naik ke bagian atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Bilal pun
mengumandangkan suara adzan. Alangkah mengharukan saat itu. Denyut nadi di kota
Mekkah terhenti, dan dengan jiwa yang satu, ribuan kaum Muslimin dengan hati
khusyuk dan secara berbisik mengulangi kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh
Bilal .
Orang-orang musyrik di rumahnya
masing-masing hampir tidak percaya dan bertanya-tanya di dalam hatinya:
“Inikah dia Muhammad dengan orang-orang miskinnya yang kemarin terusir
meninggalkan kampung halamannya?”
Benarkah itu dia yang mereka
usir, mereka perangi, dan mereka bunuh keluarga yang paling dicintainya serta
kerabat yang paling dekat dengan kepadanya?
Betulkah itu dia yang beberapa
saat lalu nyawa mereka berada di tangannya, memaklumkan kepada mereka, “Pergilah kalian, karena kalian semua bebas”?
Tiga orang bangsawan Quraish
sedang duduk-duduk di pekarangan Ka’bah. Mereka tampak terpukul menyaksikan
pemandangan itu, yaitu ketika Bilal menginjak-injak berhala-berhala mereka
dengan kedua telapak kakinya, kemudian di atas reruntuhannya yang telah hancur
luluh, Bilal menyenandungkan suara adzan yang berkumandang di seluruh pelosok
Mekkah, tidak ubahnya bagai tiupan angin di musim semi. Ketiga orang itu ialah
Abu Sufyan bin Harb yang telah masuk Islam beberapa saat yang lalu, Attab bin
Usaid , dan Al-Harits bin Hisyam , kedua orang ini belum masuk Islam.
Attab berkata sambil memandangi
Bilal yang sedang menyuarakan adzan, “Sungguh
Usaid (ayahnya yang telah mati) telah dimuliakan Allah, karena ia tidak
mendengar sesuatu yang sangat dibencinya!”
Al-Harits menyahut, “Demi Allah, seandainya aku tahu bahwa
Muhammad itu di pihak yang benar, aku pasti mengikutinya!”
Abu Sufyan yang memang cerdas
itu memukas pembicaraan kedua shahabatnya dengan ungkapam, “Aku tidak akan mengatakan sesuatu, karena
seandainya aku berkata, kerikil-kerikil ini pasti akan mengabarkannya!”
Ketika Nabi meninggalkan
Ka’bah, beliau melihat mereka, lalu dalam sekejap waktu beliau membaca
wajah-wajah mereka. Kemudian, dengan kedua cahaya yang bersinar dengan cahaya
ilahi, beliau bersabda kepada mereka, “Aku tahu apa yang telah katakana tadi.”
Beliau lalu menceritakan apa
yang mereka katakan sebelumnya. Al-Harits dan Attab pun berseru, “Kami menyaksikan bahwa engkau adalah utusan
Allah. Demi Allah, tidak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami, hingga kami
dapat menuduh bahwa ia telah menyampaikannya kepada engkau.” <Ar-Rahiq
Al-Makhtum, Al-Mubarakfuri, hlm. 405 (cet. Qatar 1428H/2008M)—edt.>
Sekarang, mereka menghadapi Bilal dengan pandangan baru. Dalam lubuk hati mereka bergema kembali kalimat-kalimat
yang mereka dengar dalam pidato Rasulullah pada awal memasuki Mekkah, “Wahai orang-orang Quraish, Allah telah
melenyapka diri kalian dari kesombongan jahiliyyah dan kebanggaan terhadap
nenek moyang. Manusia itu bermula dari Adam, sedangkan Adam diciptakan dari
tanah.”
Bilal melanjutkan hidupnya
bersama Rasulullah dan ikut mengambil bagian dalam semua perjuangan bersenjata
pada masa hidupnya. Ia tetap menjadi muazin, menjaga serta menghidupkan syiar
agama besar ini, yang telah membebaskan dirinya dari kegelapan menuju cahaya,
dari perbudakan kepada kemerdekaan.
Kedudukan Islam semakin tinggi,
demikian pula kaum Muslimin, taraf dan derajat mereka ikut naik, dan Bilal semakin lama semakin dekat di hati Rasulullah . Beliau pernah menyatakan dirinya
sebagai seorang laki-laki penduduk surga.
Tetapi, sikapnya tidak berubah,
tetap seperti biasa; mulia dan besar hati, yang selalu memandang dirinya tidak
lebih daripada seorang Habasyah yang kemarin menjadi budak. Suatu hari, ia
pergi meminang dua orang wanita untuk calon istrinya sendiri dan saudaranya. Ia
berkata kepada orang tua kedua wanita itu, “Saya
ini Bilal , dan ini saudaraku. Kami berasal dari bangsa budak Habasyah. Pada
mulanya kami berada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk oleh Allah. Kami
sebelumnya adalah budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah. Jika
pinangan kami diterima, segala puji bagi Allah, namun bila anda tolak, Allah
Maha Besar.”
Rasulullah kembali ke hadirat
ilahi dalam keadaan ridha dan diridhai. Penanggung jawab kaum Muslimin
sepeninggal beliau dibebankan di atas pundak Khalifahnya, Abu Bakar
Ash-Shiddiq .
Suatu saat, Bilal menjumpai
Khalifah Rasulullah tersebut untuk menyampaikan isi hatinya. Ia berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, saya mendengar
Rasulullah bersabda, ‘AMAL YANG PALING UTAMA BAGI ORANG BERIMAN ADALAH BERJIHAD
FI SABILILLAH.”
“Jadi, apa maksudmu, wahai Bilal ?” Tanya Abu Bakar .
“Saya ingin berjihad di jalan Allah sampai saya meninggal dunia.”
Jawab Bilal .
“Siapa lagi yang akan menjadi muazin bagi kami nanti?” Tanya Abu
Bakar . Dengan air mata berlinang Bilal menjawab, “Saya tidak akan menjadi muazin lagi bagi orang lain selain Rasulullah.”
“Tidak, tetaplah tinggal di sini hai Bilal , dan menjadi muazin bagi
kami!”
“Seandainya anda memerdekakan saya dulu adalah untuk kepentingan anda,
baiklah saya terima permintaan itu. Tetapi, bila anda memerdekakan saya karena
Allah, biarkanlah diri saya untuk Allah sesuai dengan maksud baik anda itu!”
“Saya memerdekakanmu itu semata-,ata karena Allah, wahai Bilal .”
Mengenai kehidupan Bilal selanjutnya, ada perbedaan pendapat di antara para ahli riwayat. Sebagian
meriwayatkan bahwa ia pergi ke Syria dan menetap di sana sebagai mujahid dan
penjaga perbatasan wilayah Islam. Menurut pendapat lain, ia menerima permintaan
Abu Bakar untuk tinggak bersamanya di Madinah. Kemudian, setelah Abu Bakar wafat dan Umar diangkat menjadi khalifah, Bilal meminta izin untuk mohon diri
kepadanya, lalu berangkat ke Syria.
Bagaimanapun juga, Bilal telah
mendedikasikan sisa hidup dan usianya untuk berjuang menjaga benteng-benteng
Islam di perbatasan, dan membulatkan tekadnya untuk dapat menjumpai (wafat)
Allah dan Rasul-Nya, dalam keadaan sedang melakukan amal yang paling disukai
oleh keduanya. Suaranya yang merdu, tulus dan penuh wibawa itu, tidak lagi
mengumandangkan adzan seperti biasa. Itu karena setiap kali ia membaca “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”,
kenangan lamanya bangkit kembali, dan suaranya tertelan oleh kesedihan,
digantikan oleh cucuran air mata.
Azannya yang terakhir ialah
ketika Umar sebagai Amirul Mukminin datang ke Syria. Orang-orang menggunakan
kesempatan tersebut dengan memohon kepada khalifah agar meminta Bilal menjadi
muazin untuk satu shalat saja. Amirul Mukminin memanggil Bilal dan ketika waktu
shalat telah tiba, ia meminta dirinya agar menjadi muazin.
Bilal pun menaiki menara dan
mengumandangkan adzan. Para shahabat yang pernah mendapati Rasulullah waktu Bilal menjadi muazinnya menangis dan mencucurkan air mata. Mereka menangis
seolah-olah tidak pernah menangis sebelumnya dan yang paling keras tangisnya di
antara mereka adalah Umar .
Semoga Allah merahmatimu wahai sang penakluk ketakutan,
Semoga sifatmu yang pemberani membekas di hati kami.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
9 komentar:
Info Nya Mantab
Semoga Allah merahmatimu wahai sang penakluk ketakutan,
Semoga sifatmu yang pemberani membekas di hati kami.
amin ...
nice info gan , ditunggu posting selanjutnya , hehe
saya ingin seperti beliau :)
Thanks Gan Infonya !
thanks infonya sob
bisa nambah ilmu kerohanian.
postingan yg luar biiasa panjangnya butuh berapa jam tuh gan buat ngetik
Info yang bermanfaaat :D
Makasih Info nya kang...
Alhamdulillah jadi nambah Pengetahuannya...
Posting Komentar