بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Saat ketiga kesatria Muslim berhadapan
dengan para jawara Quraisy di Perang Badar, tokoh terkemuka Quraisy, Utbah bin
Rabi’ah bersama saudara dan anaknya maju menantang pihak Muslim untuk beradu
keterampilan senjata. Sementara dalam barisan Muslim, Abu Hudzaifah yang tak
lain adalah putra dari sang penantang duel, Utbah bin Rabi’ah, hanya bisa
menyaksikan perkelahian sang ayah beserta keluarganya dengan kesatria Muslim.
Meski di dalam hatinya yang terdalam, ia berharap supaya ia sendiri yang
berhadapan langsung dengan sang ayah, agar dia tidak khawatir atas dendam
terhadap pembunhan ayahnya yang dilakukan pihak Muslim atas kaum Quraisy.
Di Perang Badar itulah Abu Hudzaifah
menginginkan agar ia bisa bertarung dengan ayahnya. Maka ditantanglah ayahnya
untuk perang tanding oleh Abu Hudzaifah. Tentu ini bukanlah anak yang durhaka,
karena ini babnya adalah bab tentang akidah. Jika sudah memasuki bab akidah,
maka tidak ada kompromi dalam posisi perang. Jika tidak dalam posisi perang,
maka sang anak harus berbuat baik kepada orang tua walau pun sang orang tua
bukanlah Muslim.
Satu per satu para kesatria Muslim
berhasil mengalahkan orang-orang Quraisy. Hingga akhrnya, Utbah bin Rabi’ah
tokoh terpandang itu pun tewas di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib. Sebuah
pemandangan memilukan bagi Abu Hudzaifah bin Utbah. Hatinya berkecamuk menelan
kenyataan pahit saat menyaksikan kematian sang ayah tercinta di balik manisnya
kemenangan duel para kesatria Islam atas jawara-jawara Quraisy.
Abu Hudzaifah merupakan keturunan dari
seorang terpandang Quraisy dari suku Abdu Syams, yang memiliki jalur
kekerabatan dengan kakek Rasulullah, Hasyim bin Abdul Manaf. Ayahnya, Utbah bin
Rabi’ah merupakan saudagar kaya raya yang dikenal dengan kecerdasannya serta
keahliannya dalam malantunkan syair. Meski Utbah dikenal sebagai orang yang
cerdas, ia tercatat oleh sejarah sebagai orang yang enggan menerima Islam.
Meski pada akhirnya ia paham bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang Nabi
utusan Allah.
Abu Hudzaifah juga mempunyai seorang
saudari bernama Hindun binti Utbah yang merupakan perempuan yang dikenal
sebagai perempuan pemakan jantung Hamzah di Perang Uhud. Di balik kerasnya sang
keluarga dalam menolak Islam, Abu Hudzaifah bin Utbah justru tercatat sebagai
generasi awal yang memeluk Islam.
Ia memeluk Islam sebelum Rasulullah
menjadikan rumah Arqam bin Abdul Arqam sebagai tempat dakwah dan belajar Islam
di tahun ke 4 kenabian. Ia bersama sedikit Muslim lainnya belajar Islam secara
sembunyi-sembunyi, sebab keislaman mereka akan memancing kemarahan dari
tokoh-tokoh Quraisy seperti Utbah dan Abu Jahal, jika keislaman telah diketahui
oleh mereka.
Abu Hudzaifah memiliki seorang budak yang
berasal dari Persia yang bernama Salim. Tidak seperti kebanyakan bangsa Arab
lainnya yang memperlakukan budaknya dengan cara yang tidak manusiawi, Abu Hudzaifah
justru sangat menyayangi Salim. Apalagi Islam datang dan mengajarkan persamaan
derajat manusia.
Abu Hudzaifah tidak pernah merendahkan
Salim, bahkan ia kerap mengajak Salim makan bersamanya dalam satu piring.
Inilah yang mengundang kemarahan sang ayah yang merasa kehormatan keluarganya
sangat direndahkan. Ia tidak rela keturunannya duduk satu alas dengan budaknya,
maka ia pun berkata, “Apa kata orang-orang Quraisy nanti
jika mereka tahu kalau Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, anaknya pemimpin
Bani Abdu Syams, makan bersama dalam satu piring dan duduk bersama-sama?”
Namun, Abu Hudzaifah tidak sedikit pun
mempermasalahkannya, maka Abu Hudzaifah pun menjawab, “Wahai
ayahku, aku tidak peduli dengan pendapat orang lain karena aku memiliki
pendapat dan pandangan sendiri. Dan aku menyayanginya seperti anakku sendiri.”
Maka selanjutnya, demi membebaskan status
budak Salim, Abu Hudzaifah membuat keputusan yang mengejutkan ayahnya dan
seluruh masyarakat Quraisy. Ia mengumumkan pembebasan Salim dari budak menjadi
anaknya, dengan berkata, “Wahai orang Mekkah, wahai orang-orang
Quraisy. Dengarkanlah aku. Mulai sekarang aku akan membebaskan Salim dari
budak, dan aku telah mengadopsinya sebagai anakku sendiri. Mulai hari ini,
namanya adalah Salim bin Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah. Dan dia menjadi
ahli warisku.”
Tindakannya ini tentu saja menjadi aib
bagi sang ayah yang harus merelakan namanya disandang oleh seorang budak. Sebab
mau tidak mau ia harus menerima Salim karena sang anak sudah terlanjur
mengumumkannya ke masyarakat. Utbah tidak sadar, bahwa tindakan anaknya ini
didasari oleh Islam yang telah menjadi agama barunya.
Salim kemudian dimerdekakan dan kemudian
sempat diangkat sebagai anak oleh Abu Hudzaifah, sehingga panggilannya adalah
Salim bin Abu Hudzaifah. Saat itu, dalil Al-Qur’an tentang larangan mengangkat
anak belum turun kepada Rasulullah. Ketika turun ayat Al-Qur’an tentang
pelarangan penisbatan nama anak angkat ke nama
orang yang mengangkatnya, maka berubahlah nama Salim yang kemudian menjadi
sebuah nama yang sangat terkenal, yaitu Salim Maula Abu Hudzaifah.
Bersama sang istri dan anak angkatnya, Abu Hudzaifah membangun rumah
tangga dalam keharmonisan. Salim yang dikenal sebagai ahli ilmu dan penghafal
Al-Qur’an ini, seringkali mengajarkan Islam dan memimpin shalat bagi orang tua
angkatnya. Hingga tanpa sengaja, keislaman mereka diketahui oleh keluarga Utbah
bin Rabi’ah.
Keislaman mereka membuat Utbah bin Utbah serta anggota keluarga lainnya
mejadi berang. Utbah yang selama ini menentang ajaran Rasulullah, tak kuasa
menahan marah saat mengetahui sang anak dan keluarganya telah memeluk Islam.
Namun, Abu Hudzaifah dan keluarganya tetap kokoh dalam keislamannya. Hingga mau
tidak mau, Utbah terpaksa menyembunyikan keislaman sang anak demi nama baiknya
di hadapan para petinggi Quraisy lainnya.
Meski akhirnya keislaman mereka diketahui masyarakat, sang ayah tetap
memberikan perlindungan kepada Abu Hudzaifah dan keluarganya. Hubungan Abu Hudzaifah
dengan sang ayah tetap terjaga meski mereka berdua berbeda keyakinan. Bahkan
Abu Hudzaifah kerap kali mengajak sang ayah agar ia mau memeluk Islam. Namun
hidayah tak kunjung tiba pada sang ayah.
Bahkan hingga Abu Hudzaifah dan keluarganya bersama kaum Muslimin
lainnya hijrah ke kota Madinah, Utbah tetap menolak Islam . Hingga akhirnya
Utbah bin Rabi’ah, tokoh terpandang itu pun terbunuh oleh Hamzah bin Abdul
Muthalib di Perang Badar.
Saat Utbah mati, tubuhnya dan tubuh Abu Jahal bersama kaum Quraisy
lainnya dilemparkan ke dalam sumur di badar, dan Rasulullah bersabda, “wahai
Utbah, wahai Syaibah, wahai Abu Jahal,apakah kamu telah mendapatkan apa yang
telah dijanjikan oleh tuhan kalian?” Dan para
sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka bisa
mendengarkanmu?” Rasulullah pun bersabda, “Kalian
tidak lebih bisa mendengar dibandingkan mereka.”
Kemudian Rasulullah melihat Abu Hudzaifah, yang ketika itu wajahnya
terlihat sedih dan murung. Hal ini wajar karena Utbah merupakan ayahnya,
walaupun di medan pertempuran ayahnya
mati dalam keadaan kafir. Dan Rasulullah pun bersabda, “Wahai
Abu Hudzaifah, mungkin engkau sedih karena melihat ayahmu menjadi korban” Abu Hudzaifah pun berkata, “Wahai
Rasulullah, saya tidak mempunyai keraguan apapun tentang masalah ini. Saya
tidak mempermasalahkan tentang meninggalnya ayah saya. Saya sedih karena saya
berharap bahwa ayah saya mau menerima dan memeluk Islam seperti saya.”
Hari-hari telah berlalu dan kenangan Abu Hudzaifah terhadap sang ayah
yang diharapkannya dapat memeluk Islam, tak mampu terhapuskan dari ingatannya.
Ia sering kali terlihat sedih saat teringat sang ayah.
Namun, kesedihannya sudah terbayar dengan masuknya sang kakak ke dalam
Islam, yakni Hindun binti Utbah di tahun 8 H. Dan Abu Hudzaifah pun berdoa
kepada Allah, “Aku berdoa kepada Allah agar menetapkan
hatimu dalam Islam dan membersihkan hatimu dari tradisi jahiliyah.”
Sebelum pertempuran Badar berlangsung, Rasulullah berpesan kepada umat
Muslim agar tidak membunuh pamannya, Abbas jika mereka bertemu dengannya dalam
pasukan Quraisy, karena Abbas tidak berniat untuk memerangi kaum Muslimin.
Abbas ikut berperang bersama kaum kafir Quraisy karena terpaksa atas desakan
kaum kafir Quraisy.
Abu Hudzaifah yang juga memiliki kerabat di pihak lawan, merasakan hal
yang tidak adil terhadap pesan Rasulullah tersebut. Bahkan, Abu Hudzaifah
sempat bertekad untuk membunuh Abbas jika ia bertemu dengannya. Apalagi setelah
ia menyaksikan tewasnya sang ayah pada duel pembuka sebelum pertempuran Badar
berlangsung. Inilah yang membuat niatnya semakin kuat untuk membunuh Abbas bin
Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Dia pun berkata dalam hatinya, “Jika
saya bertemu dengan Abbas, maka akan saya bunuh dia.”
Namun, Abu Hudzaifah tidak bertemu dengan Abbas dan Abbas pun selamat.
Selesai Perang Badar, dirinya merasa salah karena dirinya menentang pesan dari
Rasulullah.
Apakah kalian tidak melihat kebesaran hati dari Abu Hudzaifah? Mungkin
saat ini anda sedang bertanya-tanya, di manakah letak kebesaran Abu Hudzaifah?
Saat Abu Hudzaifah menentang pesan dari Rasulullah, dia berkata dalam hatinya
akan membunuh Abbas. Walaupun perkataan ini berada dalam hatinya (bukan
diucapkan secara lisan). Dia merasa bahwa dirinya sudah sangat bersalah karena
sudah menentang kalimat Rasulullah. Inilah kebesaran dari seorang sahabat yang
mulia, Abu Hudzaifah. Bagaimana dengan anda yang pernah menentang perintah
Allah secara lisan dan terang-terangan?
Niat buruk yang sempat ia tunjukkan kepada Abbas, rupanya menjadi titik
balik bagi Abu Hudzaifah dalam membela agama Allah. Meski tak ada seorang pun
yang mengetahui niat buruknya tersebut. Ia begitu menyesali kekhilafannya.
Sejak itu, ia bertekad untuk membayar kesalahannya dengan berusaha
mendapatkan syahid di medan pertempuran. Maka seluruh momen jihad setelah
Perang Badar, selalu diikuti oleh Abu Hudzaifah. Cita-cita Abu Hudzaifah untuk
mendapatkan mati syahid baru terwujud di tahun 12 H di masa pemerintahan Abu
Bakar.
Di Perang Yamamah, perang yang menghadapi gerakkan murtad yang dipimpin
oleh Musailamah Al-Kadzab sang nabi palsu, Abu Hudzaifah pun gugur sebagai syahid.
Di Perang Yamamah pula, saudara angkat Abu Hudzaifah, yakni Salim, juga gugur
sebagai syuhada.
Sebuah persaudaraan akidah yang kelak akan dilanjutkan hingga ke surga.
Subhanallah, mereka hidup bersama dan syahid pun bersama-sama. Betapa
beruntungnya Abu Hudzaifah bin Utbah, betapa beruntungnya Salim sang ahli
Al-Qur’an. Semoga Allah meridhai kalian semua.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
2 komentar:
Saat melihat film omar... Saya jadj tau bgamana Salim yg dalam keadaan sekarat merangkak meraih tangan abu hudzaifah saat gugur bersama pada perang yamamah... Mereka d persatukam oleh Islam d dunia dan d akhirat
MasyaaAllah...iya di film Omar tervisualisasi...Radhiallahu 'anhuma
Posting Komentar